Internasional

Kudeta Myanmar, 'Lampu Merah' Ekonomi Negeri Pagoda Emas

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
01 February 2021 15:47
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi
Foto: Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (AP Photo/Aung Shine Oo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Myanmar dalam kondisi darurat. Aung San Suu Kyi berada dalam tahanan militer.

Ya, Myanmar saat ini berada dalam kudeta militer. Ketidakstabilan politik di Myanmar membuat prospek perekonomian yang cerah kembali tersapu bersih. 

Militer kini sudah menguasai kota Yangon. Pihak militer juga menunjuk pimpinan tertingginya Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk ambil kendali kekuasaan.

Langkah ini ditempuh dengan dalih untuk menjaga stabilitas negara. Karena pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), ujar militer, tidak beres bulan November lalu. 

Menurut lembaga pemantau internasional, pemilu 2020 merupakan pemilu demokratis kedua Myanmar sejak 2011, setelah berada dalam cengkeraman militer selama 49 tahun. Dalam pemilu tersebut partai Nasional Liga Demokrasi (NLD) memenangkan mayoritas suara atau sebesar 83%.

Namun pihak militer mengeluhkan bahwa pelaksanaan pemilu penuh dengan kecurangan. Pihak militer mengklaim ada penipuan sebanyak 10 juta pemilih. 

Aung San Suu Kyi ditangkap bersama Presiden Win Myint dan ditahan di ibu kota Naypyidaw. Tidak hanya Suu Kyi dan Win Myint, sumber lain menyebutkan para pejabat tinggi negara lain juga ikut ditangkap.

TV dan Radio sudah sulit diakses. Jalan menuju Bandara Internasional Yangon sudah ditutup sejak pagi.

Takut kondisi akan segera berlanjut, warga yang panik langsung berduyun-duyun memadati ATM dan supermarket untuk menarik uang dan membeli kebutuhan pokok. Upaya penangkapan Aung San Suu Kyi dan para pejabat politik lainnya mendapat protes keras dari dunia internasional.

Australia meminta militer Myanmar untuk segera membebaskan Aung San Suu Kyi dan pejabat lain yang ditahan dan mengikuti aturan hukum yang sah sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Marise Payne dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari AFP.

Tidak hanya Australia saja yang menolak aksi tersebut. Negara Adikuasa AS juga menolak dengan tegas aksi militer yang dinilai mencederai proses transisi demokratis di Myanmar.

Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki menyebut bahwa Presiden ke-46 Paman Sam Joe Biden telah diberi pengarahan. Lebih lanjut Jen Psaki mengatakan bahwa pihak AS akan mengambil segala tindakan terhadap pihak yang bertanggung jawab dan menghentikan konflik yang terjadi.

Perekonomian Myanmar yang menjadi lebih demokratis disambut baik oleh publik internasional. Transformasi dari pemerintahan militer ke demokrasi membuat Aung San Suu Kyi naik ke tampuk kekuasaan dari tahanan rumah pada tahun 2015 dan berimplikasi pada pencabutan sanksi AS.

Hal tersebut berdampak pada adanya aliran modal asing yang masuk ke negara tersebut. Myanmar digadang-gadang bakal menjadi salah satu motor penggerak perekonomian regional Asia Tenggara. 

Namun sayang adanya peristiwa pendudukan militer ini kembali mencoret citra Myamnar di dunia internasional. Hal ini tentu saja membuat para investor yang hendak menanamkan modalnya ke negara yang berpenduduk 50 juta jiwa tersebut menjadi urung. 

Padahal sebelumnya Burma sudah mulai kebanjiran aliran modal asing. Reuters melaporkan lima tahun lalu, Myanmar menjadi daya tarik yang besar bagi investor global terutama Asia. 

Telenor dari Norwegia dan Ooredoo dari Qatar meraup kontrak untuk memasang jaringan seluler pada tahun 2013. Beberapa tahun kemudian, Kirin dari Jepang merogoh uang senilai US$ 560 juta untuk membeli saham mayoritas di pabrik bir terbesar di negara itu.

Menurut Bank Dunia, investasi asing langsung ke Myanmar antara 2010 dan 2019 mencapai US$ 37 miliar, naik 40% dari dekade sebelumnya. Baru-baru ini pada bulan Desember, perusahaan investasi CVC Capital setuju untuk membeli perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Myanmar.

Sebelum peristiwa ini, citra internasional Myanmar juga tercoreng akibat adanya tindakan penganiayaan dan pembantaian terhadap komunitas muslim minoritas Rohingnya pada 2017 silam.

Lebih lanjut Reuters melaporkan Kirin mengatakan bahwa pihaknya ragu-ragu terkait investasinya setelah adanya penyelidikan independen dan tidak dapat mengesampingkan bahwa mitra minoritasnya memiliki hubungan militer.

Adanya pandemi Covid-19 dan ketidakstabilan politik di dalam negeri membuat prospek pertumbuhan ekonomi Myanmar menjadi suram. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Myanmar tumbuh di bawah 2% pada 2020 dan menjadi yang terendah sejak 1999.


(twg/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai-ramai Kritik Kudeta Militer Myanmar, Dari AS Hingga PBB

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular