
Warning, Utang Luar Negeri BUMN Tembus Rp 800 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan utang luar negeri (ULN) perusahaan pelat merah nasional tercatat masih dobel digit pada November tahun lalu dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019. Namun jika dibandingkan dengan bulan Oktober 2020, ULN BUMN tercatat mengalami penurunan.
Berdasarkan statistik utang luar negeri (SULNI), Bank Indonesia mencatat ULN BUMN mencapai US$ 57,6 miliar. Menggunakan kurs rupiah terhadap dolar di Rp 14.100/US$ maka nilainya mencapai hampir Rp 812,2 triliun.
ULN BUMN tumbuh 11,5% secara year on year (yoy) di bulan November. Lebih rendah dari pertumbuhan ULN di bulan Oktober yang mencapai 23,6% (yoy).
Kenaikan tertinggi ULN BUMN masih ditopang oleh utang perbankan dan BUMN non lembaga keuangan yang tumbuh di angka belasan persen, turun dibandingkan Oktober yang mencapai lebih dari 20%.
Perlambatan pertumbuhan ULN juga terjadi secara keseluruhan di sektor swasta. BI mencatat pertumbuhan ULN swasta pada akhir bulan November 2020 tercatat 5,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 6,4% (yoy).
Porsi ULN BUMN terhadap total swasta masih di angka 27%. Namun jika dibandingkan dengan output perekonomian nasional mencapai hampir 5% dari produk domestik bruto (PDB) RI.
Kendati porsinya masih kecil tetapi pertumbuhan utang (termasuk ULN) BUMN tergolong fantastis. Kenaikan utang BUMN secara keseluruhan juga menjadi sorotan banyak pihak baik lembaga keuangan, pelaku pasar dan investor hingga ekonom.
Utang BUMN RI terus mengalami peningkatan seiring dengan ambisi pemerintah yang ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang menelan biaya fantastis.
BUMN dijadikan sebagai salah satu mesin penggerak roda perekonomian untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Namun di sisi lain ada konsekuensi yang harus diterima yaitu utang yang bengkak.
Pada periode 2015-2019, total aset perusahaan pelat merah Indonesia tumbuh dari Rp 5.760 triliun menjadi Rp 8.734 triliun. Aset BUMN meningkat 10,3% per tahunnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Namun lebih dari 60% dari aset tersebut masih dibiayai dengan mengandalkan utang. Total kewajiban (liabilities) BUMN naik dari Rp 3.760 triliun menjadi Rp 6.070 triliun. Dalam setahun total kewajiban BUMN naik 12,2% lebih tinggi dari pertumbuhan asetnya.
Rasio kewajiban terhadap modal (debt to equity/DER) korporasi milik pemerintah juga terus membengkak dari yang tadinya di bawah 2 kali menjadi lebih dari 2 kali dalam kurun waktu lima tahun.
Di saat yang sama kinerja BUMN juga mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari rasio utang terhadap pendapatan sebelum biaya bunga utang, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) yang juga terus meningkat.
Tahun lalu rasio utang terhadap EBITDA BUMN sudah tembus 4,62 kali. Padahal lima tahun sebelumnya atau pada 2015 rasionya masih berada di angka 1,63 kali. Mirisnya lagi dari total kewajiban yang dimiliki perusahaan sebesar Rp 6.070 triliun, sebanyak 48,6% nya terkait dengan utang luar negeri (ULN).