
Sriwijaya Air Jatuh & Corona Ganas, Orang Takut Naik Pesawat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada pertanyaan umum, apakah insiden jatuhnya pesawat Sriwijaya Air JT-182 Jakarta - Pontianak akan memberikan dampak ke sejumlah penumpang pesawat sehingga takut bepergian lewat udara?
Pengamat Penerbangan Alvin Lie, mengatakan kejadian kecelakaan yang terjadi tidak akan mempengaruhi jumlah penumpang pesawat saat ini. Ia beralasan karena paling banyak penerbangan sehari -hari diisi untuk keperluan bisnis.
"Tidak terpengaruh sama sekali, untuk tujuan pariwisata saat ini memang sedang tidak ada karena pengetatan syarat tes covid-19. Leisure itu kecil. Kondisi normal leisure 10%-12%," katanya Kepada CNBC Indonesia, Jumat (12/1/2021).
Ia melihat paling banyak tujuan penerbangan untuk bisnis. Sehingga lebih banyak diisi pegawai dinas untuk pejabat pemerintah, seperti pegawai negeri, BUMN, pegawai swasta, yang mengisi ceruk pasar 70%.
Melihat sejarah penerbangan, jumlah penumpang akan tetap akan terus ada tapi hanya kemungkinan pindah layanan maskapai yang besar.
"Nggak, setelah Lion Air 737 Max, jumlah penumpang tetap, cuma orang pindah ke airline lain. Mungkin penumpang Sriwijaya Air pindah ke airline lain. Kita juga masih tunggu interim report dari KNKT, jika memang tidak menunjukkan masalah dengan pesawat, orang tidak akan ragu naik pesawat," katanya.
Pesawat Tempat Penularan Covid-19?
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kini memperbolehkan tingkat keterisian pesawat terbang mencapai 100%. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Kemenhub Nomor 3 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksana Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Transportasi Udara Dalam Masa Pandemi Covid-19.
Alvin Lie melihat aturan ini cukup memberikan sentimen positif terhadap bisnis maskapai penerbangan.
"Covid sudah hampir satu tahun, world wide belum ada cluster tertular di dalam pesawat. Penularan kemungkinan terjadi dari menuju atau dari luar bandara," katanya.
Alvin menjelaskan penerapan penumpang yang sebelumnya 50% menjadi 70% tingkat keterisian juga tidak ada hitungan scientific reference-nya dapat mengurangi penularan.
Alasan maskapai melakukan ini karena aturan untuk melakukan pembatasan jarak antar penumpang yang juga di mandatori oleh pemerintah. Di dalam pesawat sendiri terdapat hepa filter yang dapat menyaring bakteri dan virus.
"Kita harus memperhitungkan penularan paling tinggi dari cairan mulut dan hidung yang paling berbahaya Ketika orang berhadap-hadapan. Di pesawat orang membelakangi kemungkinannya kecil di dalam pesawat yang hepa filter, dapat menyaring 90% bebas dari bakteri," katanya.
Dalam aturan Kemenhub itu juga mewajibkan maskapai menyediakan tiga baris kursi untuk area karantina untuk penumpang yang terindikasi gejala Covid-19 ketika sudah lepas landas. Penumpang pesawat juga tidak diperkenankan untuk makan dan minum sepanjang perjalanan yang kurang dari dua jam, terkecuali mengkonsumsi obat.
Alvin yakin semua maskapai dan bandara sepakat untuk penerapan protokol kesehatan guna menekan angka penyebaran Covid-19. Jadi maskapai tidak akan mengeksploitasi keringanan ini, melihat mobilitas masyarakat juga sedang dibatasi.
"SE yang terbaru ini lebih ekstrem penumpang tidak boleh makan dan bicara. Membisu saja. Apalagi di bawah 2 jam di kasih makanan tapi tidak boleh di dalam pesawat," katanya.
Maskapai Garuda menanggapi soal penghapusan pembatasan 70% keterisian pesawat, pihaknya mengaku akan terus memberlakukan jaga jarak di dalam pesawat.
"Garuda memastikan akan tetap menerapkan distancing di dalam pesawat," kata Dirut Garuda Irfan Setiaputra kepada CNBC Indonesia melalui pesan singkat, Selasa (12/1/2021).
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Blackbox Sriwijaya Air SJ182 Perlu 2-5 Hari untuk Dibaca