
Kisah Boeing 737: Mesin Uang Hingga Nasib Suram Seri 737 MAX

Pada 1993, lebih dari 3.000 Boeing 737 telah dipesan dan sekitar seperempat di antaranya masih terbang hingga hari ini. Hingga 2012, pesanan pesawat Boeing 737 terus melesat, dan menjadi pesawat komersial pertama yang bisa telah dipesan hingga 10.000 pesanan.
Pada saat itu, hampir sepertiga dari semua penerbangan komersial dioperasikan oleh Boeing 737. Boeing terus merevisi jenis pesawat 737 untuk seri tua atau lama, dengan sebuah proyek berkode Y1, namun proyek tersebut tidak dilanjutkan mengingat pesawat jenis Airbus A320 juga sedang laris di pasaran.
Pada 2011, Boeing kemudian meluncurkan Boeing 737 Max, generasi keempat pesawat rakitan Boeing.
"Boeing perlu memerangi apa yang dilakukan Airbus dengan A320neo, versi pesawat dengan mesin baru yang secara substansial lebih hemat bahan bakar," kata Simons.
Kemudian, perusahaan menghadapi masalah. Ini karena Boeing 737 Max membutuhkan mesin yang lebih besar, dan tidak akan muat jika berada di bawah sayap pesawat. Masalah ini tidak dimiliki Airbus karena A320 sudah menjadi pesawat yang jauh lebih tinggi dari Boeing 737.
Kemudian, Boeing mengambil jalan dengan menambah panjang roda pendaratan di bagian depan dan memasang mesin lebih jauh ke depan dan lebih tinggi dari sayap pesawat. Tapi, dalam simulator pesawat ini, Boeing mengubah aerodinamika pesawat dan membuat bentuk pesawat tidak bisa seimbang jika dalam situasi tertentu.
Dalam mengatasi masalah tersebut, kemudian Boeing merancang sistem keamanan yang disebut MCAS, yang mampu mendorong hidung pesawat Boeing 737 Max ke bawah jika body pesawat miring pada ketinggian tertentu. Namun, pihak Boeing merahasiakan fungsi MCAS tersebut.
Boeing memutuskan untuk tidak memasukkannya di dalam kurikulum atau pelajaran singkat bagi pilot yang sudah bersertifikat untuk bisa menerbangkan Boeing 737. Sertifikat tersebut sebagai izin resmi untuk menerbangkan 737 Max.
Menurut Simons, banyak maskapai yang menyukai pesawat jenis Boeing 737 Max ini, karena lebih ekonomis untuk dioperasikan dan tidak memerlukan pelatihan simulator yang mahal untuk pilot mereka.
Pada 2018, kemudian terjadi kecelakaan fatal yang tampaknya terjadi pada dua maskapai penerbangan yang berbeda pada 29 Oktober 2018 dan 10 Maret 2019. Maskapai itu adalah Lion Air dari Indonesia dan Ethiopian Airlines dari Ethiopia.
Kedua kecelakaan tersebut lagi-lagi karena pilot salah mengaktifkan MCAS karena data yang salah dari sensor yang salah, dan memaksa sang pilot harus menurunkan hidung pesawat. Pilot tidak tahu bagaimana harus bereaksi dan mati-matian mencoba mengangkat hidung pesawat, tapi saat MCAS diaktifkan berulang kali, malah membuat pesawat tersungkur ke bawah.
Akibat dari dua kecelakaan fatal tersebut memakan korban tewas sebanyak 346 jiwa. Setelah kecelakaan fatal terjadi pada 2019, Boeing kemudian menginstruksikan kepada seluruh maskapai yang memiliki Boeing 737 Max untuk tidak dioperasikan.
Sampai saat ini, industri penerbangan masih menunggu keputusan akhir untuk Boeing 737 Max tersebut. Sementara itu, produksi pesawat dihentikan selama berbulan-bulan dan ratusan pesanan dibatalkan.
Masih harus dilihat apakah Boeing akan tetap menyebut pesawat itu Max atau mengubah namanya, dan apakah publik akan menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pesawat hingga secara eksplisit tidak mau menumpanginya?
"Tidak ada otoritas penerbangan di seluruh dunia yang akan mengambil risiko untuk membiarkan pesawat (Boeing 737 Max) untuk terbang, jika mereka belum mengujinya secara menyeluruh. Mereka mungkin akan melakukan lebih banyak pengujian yang secara realistis dan akan memastikan 100% itu aman untuk terbang," kata Simons.
[Gambas:Video CNBC]