
Kisah Boeing 737: Mesin Uang Hingga Nasib Suram Seri 737 MAX

Jakarta, CNBC Indonesia - Musibah yang menimpa pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air pada Sabtu (9/1/2021) tak pelak menghadirkan duka yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apalagi, kecelakaan ini hanya berselang kurang dari tiga tahun dari kecelakaan yang melibatkan pesawat Boeing 737 Max milik Lion Air pada 29 Oktober 2018.
Bicara soal Boeing seri 737, pesawat ini memperoleh begitu banyak julukan antara lain Baby Boeing, Light Twin, Guppy, Bobby, Rudder Rotor, Fat Freddy, dan Dung Beetle.
Sudah lebih dari 50 tahun setelah penerbangan perdana, Boeing 737 merupakan pesawat yang paling sukses yang pernah dibuat perseroan. Namun, masa depan pesawat ini belakangan menjadi tidak pasti.
Boeing 737 pertama kali diluncurkan pada 17 Januari 1967 dan tiga bulan kemudian terbang untuk pertama kalinya. Boeing 737 kemudian dipesan oleh 17 maskapai penerbangan dari berbagai negara.
Maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa, menerima versi produksi pesawat Boeing yang dikenal sebagai 737-100. Tahun itu menandai pertama kalinya pesawat Boeing diluncurkan oleh maskapai penerbangan di Eropa.
Kemudian United Airlines menerima Boeing 737 pertama pada hari berikutnya, dengan versi 737-200, yang memiliki kapasitas penumpang lebih banyak. Seri itu terbukti lebih populer dari seri sebelumnya.
"Pada awalnya, 737 adalah pesawat yang sangat kuat dan sangat andal," kata Graham Simons, sejarawan penerbangan dan penulis buku 'Boeing 737: Jetliner Komersial Paling Kontroversial di Dunia', melansir CNN dan dikutip CNBC Indonesia, Minggu (10/1/2021).
Beberapa seri Boeing 737 kala itu, kata Simons, juga bahkan bisa mendarat di jalur kerikil di sebuah perlintasan udara di Kanada Utara.
"Beberapa perusahaan charter Eropa, pada peak season, menerbangkannya selama 18-20 jam sehari tanpa masalah," kata Simons melanjutkan.
Dibandingkan dengan dua jet Boeing sebelumnya, pesawat bermesin empat 707 dan 727 bermesin tiga, Boeing 737 merupakan pesawat yang lebih kecil dan lebih ekonomis.
"Anda bisa mengisi bahan bakar pesawat dari belakang tanpa mesin khusus. Ini juga lebih mudah untuk mengisi bahan bakar, karena sayapnya lebih rendah ke tanah," kata Simons.
"Dan tidak memerlukan tangga eksternal untuk akses penumpang. Sebaliknya, ada tangga udara yang keluar dari bawah pintu dan diturunkan. Semua itu dapat mengurangi waktu penyelesaian di bandara utama dari sekitar 90 menjadi 40 menit. Sangat menghemat," lanjutnya.
Pada 1993, lebih dari 3.000 Boeing 737 telah dipesan dan sekitar seperempat di antaranya masih terbang hingga hari ini. Hingga 2012, pesanan pesawat Boeing 737 terus melesat, dan menjadi pesawat komersial pertama yang bisa telah dipesan hingga 10.000 pesanan.
Pada saat itu, hampir sepertiga dari semua penerbangan komersial dioperasikan oleh Boeing 737. Boeing terus merevisi jenis pesawat 737 untuk seri tua atau lama, dengan sebuah proyek berkode Y1, namun proyek tersebut tidak dilanjutkan mengingat pesawat jenis Airbus A320 juga sedang laris di pasaran.
Pada 2011, Boeing kemudian meluncurkan Boeing 737 Max, generasi keempat pesawat rakitan Boeing.
"Boeing perlu memerangi apa yang dilakukan Airbus dengan A320neo, versi pesawat dengan mesin baru yang secara substansial lebih hemat bahan bakar," kata Simons.
Kemudian, perusahaan menghadapi masalah. Ini karena Boeing 737 Max membutuhkan mesin yang lebih besar, dan tidak akan muat jika berada di bawah sayap pesawat. Masalah ini tidak dimiliki Airbus karena A320 sudah menjadi pesawat yang jauh lebih tinggi dari Boeing 737.
Kemudian, Boeing mengambil jalan dengan menambah panjang roda pendaratan di bagian depan dan memasang mesin lebih jauh ke depan dan lebih tinggi dari sayap pesawat. Tapi, dalam simulator pesawat ini, Boeing mengubah aerodinamika pesawat dan membuat bentuk pesawat tidak bisa seimbang jika dalam situasi tertentu.
Dalam mengatasi masalah tersebut, kemudian Boeing merancang sistem keamanan yang disebut MCAS, yang mampu mendorong hidung pesawat Boeing 737 Max ke bawah jika body pesawat miring pada ketinggian tertentu. Namun, pihak Boeing merahasiakan fungsi MCAS tersebut.
Boeing memutuskan untuk tidak memasukkannya di dalam kurikulum atau pelajaran singkat bagi pilot yang sudah bersertifikat untuk bisa menerbangkan Boeing 737. Sertifikat tersebut sebagai izin resmi untuk menerbangkan 737 Max.
Menurut Simons, banyak maskapai yang menyukai pesawat jenis Boeing 737 Max ini, karena lebih ekonomis untuk dioperasikan dan tidak memerlukan pelatihan simulator yang mahal untuk pilot mereka.
Pada 2018, kemudian terjadi kecelakaan fatal yang tampaknya terjadi pada dua maskapai penerbangan yang berbeda pada 29 Oktober 2018 dan 10 Maret 2019. Maskapai itu adalah Lion Air dari Indonesia dan Ethiopian Airlines dari Ethiopia.
Kedua kecelakaan tersebut lagi-lagi karena pilot salah mengaktifkan MCAS karena data yang salah dari sensor yang salah, dan memaksa sang pilot harus menurunkan hidung pesawat. Pilot tidak tahu bagaimana harus bereaksi dan mati-matian mencoba mengangkat hidung pesawat, tapi saat MCAS diaktifkan berulang kali, malah membuat pesawat tersungkur ke bawah.
Akibat dari dua kecelakaan fatal tersebut memakan korban tewas sebanyak 346 jiwa. Setelah kecelakaan fatal terjadi pada 2019, Boeing kemudian menginstruksikan kepada seluruh maskapai yang memiliki Boeing 737 Max untuk tidak dioperasikan.
Sampai saat ini, industri penerbangan masih menunggu keputusan akhir untuk Boeing 737 Max tersebut. Sementara itu, produksi pesawat dihentikan selama berbulan-bulan dan ratusan pesanan dibatalkan.
Masih harus dilihat apakah Boeing akan tetap menyebut pesawat itu Max atau mengubah namanya, dan apakah publik akan menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pesawat hingga secara eksplisit tidak mau menumpanginya?
"Tidak ada otoritas penerbangan di seluruh dunia yang akan mengambil risiko untuk membiarkan pesawat (Boeing 737 Max) untuk terbang, jika mereka belum mengujinya secara menyeluruh. Mereka mungkin akan melakukan lebih banyak pengujian yang secara realistis dan akan memastikan 100% itu aman untuk terbang," kata Simons.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Boeing 737: Mesin Uang Boeing Hingga Nasib Suram Seri 737 Max