
Jack Ma yang Tenggelam dalam Perang Proksi AS-China

Jakarta, CNBC Indonesia - Jack Ma adalah perintis modernisasi Tiongkok menuju negeri digital, di mana internet menghubungkan semua denyut nadi kehidupan menuju masyarakat tanpa uang tunai. Kini, Bapak Digital itu tenggelam dalam pusaran geopolitik global.
Peran penting Jack Ma dalam mendigitalkan sistem keuangan di China terlihat dari layanan Alipay-unit usaha Alibaba yang didirikannya pada Februari 2004. Ia merupakan paltform layanan pembayaran dan transaksi online, mirip Gopay atau Ovo di Indonesia.
Namun berbeda dari kedua platform layanan terpopuler di Indonesia tersebut. Alipay memberi layanan yang lebih besar dari itu, menjadi semacam bank bayangan (shadow bank). Mereka menawarkan pembiayaan (bekerja sama dengan 100 bank), investasi (bekerja sama dengan 170 perusahaan manajer investasi), dan asuransi (menggandeng 90 perusahaan asuransi).
Beroperasi di negara terpadat dunia, Alipay pun mencetak pertumbuhan eksponensial hingga pada 2013 sukses menyalip PayPal sebagai platform pembayaran mobile yang terbesar di dunia. Kini, Alipay melayani 1 miliar pengguna dan 80 juta merchant.
![]() |
Dalam dokumen prospektus Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO) Ant Group (induk usaha Alibaba) yang dirilis otoritas bursa Hong Kong, volume pembayaran yang ditangani Alipay mencapai 118 triliun yuan per Juni 2020.
Angka tersebut setara dengan Rp 254,2 kuadriliun. Sebagai perbandingan, nilai belanja transaksi online di Indonesia baru diprediksi menembus angka Rp 1.000 triliun pada 2025-mengutip proyeksi perusahaan konsultan Bain & Co. Perlu 250 kali transaksi bagi Indonesia untuk menyamai Alipay.
Di atas kertas, Jack Ma bukanlah pengendali Alibaba, perusahaan e-commerce terbesar di China pengendali Alipay. Dia memang pendirinya, tetapi sepertiga saham Alibaba dipegang Softbank Jepang, milik Masayoshi Son.
Sebanyak seperlima lainnya (sekitar 22%) dipegang pelaku pasar di Wall Street termasuk di antaranya hedge fund Blackrock dan Altaba (milik perusahaan teknologi Yahoo). Jack Ma kini hanya memiliki 5,67% saham Alibaba.
Dalam prospektus IPO Ant Group, Alibaba disebutkan memiliki 33% saham Ant Group (melalui Hangzhou Alibaba dan Taobao Holding Ltd). Sebagai pendiri dan pemegang saham dominan, Ma disebut sebagai pengendali akhir Ant Group.
Dengan kata lain, Ant Group dipegang Ma dan juga para investor besar di belakang Alibaba (yakni Softbank, Blackrock dan Yahoo yang juga merupakan investor besar dan juga perusahaan yang tercatat di bursa New York).
Halaman 2>>>
Di kalangan netizen China, beredar kabar bahwa Alibaba sempat memicu risiko kolapsnya pasar saham China pada 2015, setelah pria bernama asli Ma Yun tersebut menggelar IPO Alibaba di bursa New York.
Saat itu Ma disebut-sebut mengatur short selling saham-A di Alibaba dengan George Soros yang nyaris menggoyahkan pasar keuangan China. Hal inilah yang membuat Presiden China Xi Jinping dendam dengan Jack Ma.
Short-selling adalah praktik transaksi saham di mana investor meminjam alias ngutang saham (yang tak dimilikinya dan diyakini akan tertekan harganya) dari perusahaan sekuritas (broker). Saham itu langsung dijual di pasar dengan harga sekarang.
Sang investor menggunakan dana hasil penjualan saham (di harga tinggi) itu untuk kemudian membeli saham yang sama (di harga rendah) di kemudian hari dan langsung dikembalikan ke broker. Selisih dana yang tersisa menjadi cuan baginya.
Namun, tuduhan tersebut tak berbukti karena satu-satunya sanksi terhadap Soros pada 2015 adalah denda US$ 192.000 di bursa Hong Kong karena short selling saham Great Wall Motor. Bukan yang lain.
Minat nge-short saham Alibaba memang naik 2 kali lipat pada semester II-2015, dari hanya 50 juta saham per Juni menjadi 98,1 juta pada Januari 2016. Namun, posisi Soros saat itu adalah jual (bukan beli laiknya praktik short selling), dengan melepas 4 juta sahamnya di Alibaba.
Mengutip Reuters, volume saham yang di-short di pasar itu lebih dari 10% saham beredar Alibaba. Namun, locus delicti-nya di bursa New York, bukan di China sehingga tidak ada risiko sistemik bagi bursa Negeri Panda.
![]() |
Jadi apa yang sebenarnya terjadi?
Merunutnya dengan membaca dinamika yang timbul mengiringi hilangnya Ma. Setelah Ma menabuh "genderang perang" dengan mengritik pemerintah China, Trump pada November meneken Keputusan Presiden yang melarang investasi warga AS ke perusahaan China yang diduga dimiliki atau dikendalikan militer China.
Patuh dengan itu, otoritas bursa New York (NYSE) pada 31 Desember mengumumkan bahwa mereka akan mendepak China Mobile, China Telecom dan China Unicom yang diduga dimiliki oleh pemerintah.
Namun kemarin, semua balik arah. NYSE mencabut rencana itu setelah "konsultasi lebih lanjut" dengan regulator. Saham ketiga perusahaan tersebut pun kompak melesat hingga di atas 7% pada perdagangan awal tahun 2021.
Halaman 3>>
Kini, keberadaan Ma menjadi misteri. Berbagai spekulasi bermunculan setelah sejak 10 Oktober 2020, ketika dia berhenti mencuit di Twitter. Pada November, dia membatalkan kehadiran dan perannya sebagai juri acara reality show di Afrika yakni "Africa Business Heroes" yang disponsori Alibaba.
Hilangnya Ma disebut-sebut terkait dengan kritikannya terhadap pemerintah China pada 24 Oktober 2020. Di Bund Summit, konferensi di Shanghai, Ma mengritik regulasi sistem keuangan China (dan dunia) dengan menyebut bank saat ini dioperasikan dengan "mentalitas pegadaian".
Saat itu dia curhat karena sulitnya regulasi perbankan mengakomodir perkembangan fintech. Sebelumnya, Ma juga menyatakan bahwa jika 'bank tidak mau berubah, kami (platform pembayaran digital) akan mengganti bank' dengan imperium digital yang telah dibangunnya.
![]() |
Kritikan itu diberikan beberapa hari sebelum Ant Group menggelar IPO senilai US$ 30 miliar. The Wall Street Journal melaporkan bahwa kritikan itu membuat Xi Jinping gerah, sehingga dia memerintahkan regulator untuk menyelidiki bisnis Ma dan menangguhkan IPO Ant Group.
Alasan yang dipakai, mengutip Bloomberg, adalah peraturan anti-monopoli yang dirilis pada 2 November, guna mengontrol pemodal seperti Jack Ma agar tidak terlalu dominan di perekonomian (digital) China hingga mengancam kekuasan Partai Komunis China (PKC).
Bagi Jim Cramer, analis CNBC International, situasi yang dihadapi Jack Ma ini adalah bukti bahwa rezim komunis Tiongkok adalah ancaman bagi perusahaan bebas dan pasar bebas. Dia mendukung langkah keras Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap China.
Di sisi lain, China sadar bahwa ikhtiar pelonggaran regulasi dan membiarkan kompetisi tanpa banyak aturan memang membawa kemajuan, tetapi berpotensi membuat perusahaan teknologi seperti milik Jack Ma terlalu berkuasa, sesuatu yang sudah terjadi di AS dengan Google, Twitter, dan Facebook.
Sulit untuk tidak melihat kentalnya kepentingan dan pesaingan geopolitik di balik perkembangan industri teknologi dan digital. Pemerintah China menunjukkan bahwa mereka bargaining chip dengan pembatalan IPO Ant Group dan penyelidikan Ma, setelah AS menyidik Huawei.
Harap dicatat. Selain fakta bahwa sepertiga saham Alibaba dipegang warga negara AS dan sekutunya, jejaring bisnis Alibaba dan platform Alipay merupakan agen penting bagi pengusaha AS untuk masuk ke pasar Negeri Tirai Bambu, berjualan perangkat pesawat, kebutuhan rumah tangga, hingga iPhone.
Nasib Ant Financial dan Ma-yang menjadi penghubung China dan Wall Street-memang masih menjadi teka-teki. Namun yang pasti, situasi demikian mengonfirmasi bahwa persaingan AS-China itu benar adanya dan menjepit pelaku usaha rintisan digital seperti Jack Ma.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! Banyak Crazy Rich China 'Jatuh Miskin', Ada Jack Ma