Bingung! Harga Minyak Turun Salah, Naik Bikin Susah...

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 January 2021 14:52
PHE WMO operasikan kembali anjungan PHE 12.
Foto: PHE WMO operasikan kembali anjungan PHE 12. (Dok. Pertamina Hulu Energi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah diproyeksi akan mulai bangkit pada 2021. Banyak yang mengatakan the worst is over, 2020 memang bukan periode yang baik untuk si emas hitam dan bisa rebound tahun ini. 

Dunia dilanda pandemi Covid-19 yang membuat lebih dari 3 miliar orang di muka bumi dikarantina secara massal pada periode Februari-April. Bak mati suri, banyak kota yang lengang tanpa lalu lalang.

Hiruk pikuk dan mobilitas yang tadinya ramai tiba-tiba berubah lengang dan menjadi sebuah kengerian. Sektor transportasi lumpuh, jumlah pengguna jasa layanan pesawat terbang drop signifikan dan permintaan bahan bakar anjlok sampai 30% kala itu.

Di saat yang sama Arab Saudi dan Rusia sebagai produsen terbesar yang menjadi anggota OPEC+ justru berseteru. Keduanya sampai terlibat perang harga ketika pasokan minyak membanjiri pasar yang seret permintaan.

Alhasil untuk kali pertama dalam sejarah harga kontrak futures (berjangka) minyak West Texas Intermediate (WTI) jatuh ke teritori negatif. Minus US$ 37,6/barel. Saking ogahnya konsumen menerima pasokan karena kapasitas tangki penyimpanan sudah hampir penuh sampai harus diberi insentif oleh penjualnya.

Tak lama setelah crash, harga minyak bangkit. OPEC+ sepakat untuk pangkas produksi 9,7 juta barel per hari (bph) mulai Mei-Juli. Per Agustus kuota pemangkasan diturunkan menjadi 7,7 juta bph sampai akhir tahun.

Masuk 2021, para kartel sepakat untuk genjot produksi 500 ribu bph pada Januari. Namun lagi-lagi Arab Saudi dan Rusia kembali silang pendapat. Arab ingin pasokan minyak tidak ditambah sementara Rusia sebaliknya ingin menggenjot produksi 500 ribu bph pada Februari.

Kabar tersebut langsung membuat harga si emas hitam tertekan. Kalau perbedaan pendapat itu kembali berbuntut kisruh maka pasar minyak akan kembali goyang. 

Melihat prospek minyak tahun ini ada kemungkinan lebih baik dari tahun 2020. Adanya vaksin Covid-19 dan prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik membuat harga minyak berpeluang naik. 

OPEC dalam laporan bulanannya menyebut bahwa permintaan minyak 2021 akan naik 5,9 juta bph menjadi 95,9 juta bph. Meskipun naik sebenarnya OPEC sudah berkali-kali memangkas proyeksinya dari yang diperkirakan naik 7 juta bph hingga yang terakhir adalah 5,9 juta bph.

Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters kepada 39 ekonom dan analis menunjukkan bahwa harga minyak khusus untuk Brent diperkirakan masih akan berada di kisaran US$ 50,7 per barel. Sedangkan untuk harga minyak mentah West Intermediate (WTI) diprediksi bergerak di kisaran US$ 47,45 per barel pada 2021.

Masuk 2021, harga kontrak futures minyak Brent sudah di atas US$ 50/barel. Rata-rata harga minyak Brent di tahun 2020 berada di bawah US$ 45/barel. Untuk harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan Indonesian Crude Price (ICP) juga ikut longsor meski ada tren kenaikan sejak paruh kedua 2020.

Dalam asumsi makro APBN 2021, harga minyak Indonesia dipatok di US$ 45/barel. Naik hampir US$ 3/barel dibanding tahun 2020. Apabila terjadi kenaikan terhadap harga minyak global dan nasional maka dampaknya akan dirasakan oleh perekonomian dalam negeri.

Dampak fluktuasi harga minyak ke perekonomian Indonesia bisa masuk ke berbagai jalur. Mulai dari fiskal, sektoral hingga moneter. Terkait dengan fiskal kenaikan harga minyak mentah dunia akan memberikan kontribusi yang positif bagi pendapatan negara.

Dalam analisis sensitivitas asumsi makro APBN pada nota keuangan dan RAPBN 2021, kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel dapat menyebabkan pendapatan negara naik Rp 4,39 triliun dan belanja negara naik Rp 3,46 triliun sehingga menambah surplus Rp 929,1 miliar.

Kenaikan harga minyak juga cenderung positif untuk sektor migas. Investasi menjadi lebih menarik. Namun untuk tahun 2021, pemerintah mematok target lifting (produksi untuk dijual) minyak hanya sebesar 705 ribu bph. 

Kendati memiliki sisi positif, kenaikan harga minyak juga memiliki sisi negatif. Sisi negatifnya adalah, bagi negara yang menjadi net importir minyak seperti Indonesia, kenaikan harga akan membuat biaya impor lebih mahal.

Neraca dagang bisa jebol, defisit transaksi berjalan bisa makin parah. Alhasil nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Kombinasi antara kenaikan harga minyak dan depresiasi rupiah akan cenderung menyebabkan inflasi atau kenaikan harga di dalam negeri.

Maklum, minyak merupakan salah satu input paling penting dalam setiap kegiatan ekonomi. Inflasi bakal terjadi jika harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan. Namun jika tidak dinaikkan mau tak mau pemerintah harus memberikan alokasi subsidi untuk yang membutuhkan. 

Dilematis memang, terlalu anjlok dalam harganya salah, menguat signifikan pun salah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular