
Virus Corona Bermutasi Lebih Seram, Lalu Kapan Pandemi Kelar?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada fenomena terbaru yang bikin pusing tujuh keliling seluruh umat. Varian baru virus corona (SARS-CoV-2).
Virus yang bermutasi ini pertama kali dijumpai di Inggris. Varian baru yang dinamai B.1.1.7 oleh ilmuwan dari konsorsium genomik Inggris tersebut dikaitkan dengan peningkatan signifikan kasus harian Covid-19 di beberapa wilayah.
Menurut laporan resmi dari European Center for Disease Control & Prevention, varian baru yang juga dikenal dengan nama Variant Under Investigation (VUI 202012/1) tersebut banyak ditemukan di daerah Kent, Inggris terutama pada kelompok usia yang lebih muda dari 60 tahun.
Selain di Kent, varian tersebut juga banyak dijumpai di Wales yang dominan menginfeksi kelompok usia tertentu dengan median 41 tahun (11-71 tahun). Investigasi terhadap sifat varian baru ini sedang berlangsung.
Hasil berupa pemeriksaan klinis yang lebih buruk hingga kematian yang lebih tinggi atau terutama kelompok yang terkena dampak belum dilaporkan hingga saat ini. Studi yang dilakukan oleh 10 ilmuwan dari konsorsium genomik Covid-19 Inggris (COG-UK) itu menemukan bahwa varian ini muncul akibat adanya mutasi.
Studi yang berjudul "Preliminary genomic characterisation of an emergent SARS-CoV-2 lineage in the UK defined by novel set of spike mutation" tersebut mengatakan bahwa varian ini muncul akibat adanya perubahan genetik (mutasi) pada protein Spike yang berfungsi untuk menginfeksi inang.
Ada tiga perubahan genetik yang berhasil ditemukan dari karakterisasi tersebut. Mutasi pertama terjadi disekuens asam amino yang punya peranan untuk berikatan dengan reseptor di manusia dan mencit.
Mutasi tersebut diidentifikasi sebagai mutasi yang mampu meningkatkan afinitas (kemampuan berikatan) dengan reseptor milik inangnya. Dalam kasus ini adalah manusia dan mencit. Afinitas yang tinggi ini membuat virus menjadi lebih mudah masuk ke host atau sel inang, sehingga berpeluang besar meningkatkan risiko penularannya.
Laporan awal yang diperoleh dari Inggris menyatakan bahwa varian ini lebih menular daripada virus yang beredar sebelumnya dengan tingkat penularan diperkirakan antara 40% hingga 70%.
Perubahan genetik kedua adalah adanya delesi (hilangnya) asam amino pada urutan ke 69 dan 70 pada protein Spike. Mutasi jenis ini disebut mampu membuat virus dapat terhindar dari sistem pertahanan tubuh inang di beberapa kasus.
Kemudian mutasi yang terakhir adalah perubahan asam amino pada daerah di dekat gugus fungsi penting protein SARS-CoV-2. Jenis varian baru ini dikabarkan juga ditemukan di negara-negara lain seperti Belanda, Italia bahkan sampai ke Australia.
Desas-desus yang beredar selain lebih menular varian baru ini juga bisa lolos dari deteksi paling canggih seperti swab test PCR. Namun kenyataannya rumor tersebut tak sepenuhnya benar.
PCR merupakan salah satu tools paling sensitif untuk mendeteksi virus penyebab Covid-19 tersebut dengan menggunakan materi genetiknya. Namun hasil dari PCR tidaklah sesederhana seperti rapid test antigen/antibodi yang mengacu pada dikotomi reaktif dan non-reaktif. Hasil tes juga tak segamblang positif atau negatif.
Untuk mendeteksi adanya virus Corona, materi genetik tersebut harus dilipatgandakan untuk mencapai batas ambang tertentu. Batas ambang di sini biasanya disebut sebagai siklus dan dalam medis dilambangkan dengan Ct.
Apabila jumlah virus yang menginfeksi seseorang banyak, maka ketika sample swab dari tenggorokan atau hidung dikoleksi dan dites maka siklus yang dibutuhkan untuk mengamplifikasi jumlahnya hingga mencapai ambang batas menjadi lebih rendah. Begitupun sebaliknya.
Ct dalam kasus tes klinis deteksi Covid-19 juga bisa mengindikasikan tingkat keparahan seseorang ketika terinfeksi patogen ganas tersebut. Dalam melakukan interpretasi nilai Ct pun harus berhati-hati.
Halaman Selanjutnya >> Lalu Kapan Corona Berakhir?