
Panduan Investasi Cuan Saat Suku Bunga Rendah

Jakarta, CNBC Indonesia- Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa dampak bagi sektor kesehatan melainkan juga perekonomian yang ikut terombang-ambing di dalamnya. Pada saat masuknya Covid-19, pasar saham yang tercermin dari IHSG sempat anjlok hingga titik terendahnya dalam beberapa tahun terakhir.
Namun setelah 9 bulan pandemi berjalan, IHSG perlahan pulih dan kembali di atas 5.000. Bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis bisa kembali tembus 6.000 setelah rangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengurangi dampak virus Covid-19.
Pemulihan ini juga terlihat dari beberapa emiten yang menunjukkan kenaikan harga, seperti salah satu bank BUMN yang dalam 6 bulan terakhir harga sahamnya melesat 34,59%, setelah menyentuh titik terendahnya di awal pandemi.
OJK telah mengeluarkan berbagai kebijakan extraordinary untuk menekani dampak Covid-19 di luar kebiasaan pasar modal termasuk pembelian saham emiten tanpa RUPS, autorejection, dan beberapa kebijakan lain agar penurunan tidak terlalu dalam.
Demi menjaga stabilitas ekonomi pun, Bank Indonesia memutuskan untuk memangkas suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah pemulihan ekonom nasional.
Tren suku bunga rendah ini diperkirakan akan bertahan hingga tahun depan. Keputusan ini juga ditanggapi positif oleh pasar saham, yang telah menembus level 6.000.
Selain pemerintah ataupun lembaga keuangan, masyarakat juga bersiap dengan menyiapkan tabungan dan investasi untuk menghadapi masa yang tidak pasti ini dengan menabung dan berinvestasi. Akan tetapi turunnya suku bunga BI, otomatis juga akan berpengaruh pada suku bunga deposito yang akan semakin kecil.
Lalu bagaimana masyarakat dapat tetap berinvestasi dengan imbal hasil menarik di saat tren suku bunga rendah ini?
Perencana Keuangan Andreas Hartono mengatakan pada dasarnya berinvestasi harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap orang dan juga jangka waktunya. Setelah itu barulah dapat memilih instrumen yang tepat untuk berinvestasi, baik deposito, reksadana, surat berharga negara (SBN), hingga saham.
Setelah itu, posisi rata-rata bunga perbankan pun dapat menjadi benchmark dalam menentukan produk investasi, karena biasanya semakin tinggi imbal hasilnya semakin besar pula risikonya.
"Biasanya kalau kurang dari 2 tahun bisa deposito, SBN, dan reksa dana pasar uang. Kenapa hanya itu? Karena pilihan tersebut relatif stabil, meski pertumbuhannya kecil tapi aman. Tetapi kalau tujuannya jangka panjang 5 tahun ke atas kami rekomendasikan saham/reksadana saham karena ada volatilitas,"kata Andreas ketika dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (11/12/2020)
Untuk berinvestasi pun kini tidak sulit dan mahal, pemerintah kini telah cukup sering mengeluarkan SBN Ritel dengan harga pembelian yang terjangkau mulai dari Rp 1 juta. Ada pula instrumen lainnya seperti reksa dana yang bisa dibeli mulai harga Rp 10.000 dengan imbal hasil menarik. Banyaknya alternatif investasi ini memberikan berbagai pilihan kepada masyarakat, terutama bagi yang usia muda dan dana terbatas.
"Jadi perencanaan keuangan adalah bagaimana cari aman dulu bukan cari untung. Harus dipertimbangkan kalau jangka pendek menggunakan saham apa yang terjadi kalau minus sahamnya. Makanya kalau tujuan di jangka panjang lebih cocok," kata dia.