
Blak-blakan Pengusaha Kaget Pengetatan Terukur ala Luhut

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor perhotelan di Bali harus menerima kenyataan bakal potensi menurunnya jumlah wisatawan yang datang. Hal itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah soal kewajiban tes PCR & tes rapid antigen H-2 jelang keberangkatan wisatawan yang menuju Bali mulai 18 Desember 2020.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Indonesia Hotel General Manager Association (DPP IHGMA) I Made Ramia Adnyana bahkan sudah menyatakan ada beberapa keluarga yang resmi membatalkan perjalanannya ke Bali usai munculnya kabar tersebut.
"Tadi saja ada beberapa yangcancel, grup atau keluarga yang mestinya liburan di bulan akhir Desember sudahcancel.Ini keluh kesah teman-teman saya sampaikan," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (15/12).
Ramia mengungkapkan potensi akan pembatalan perjalanan ke Bali berpotensi bakal terus bertambah. Pasalnya, belum sehari saja setelah kebijakan tersebut keluar, sudah ada keluarga yang melakukan pembatalan perjalanan.
Bertambahnya regulasi bakal membuat masyarakat yang sudah niat berlibur jadi mengurungkan rencananya. Ia mengakui ada kekhawatiran akan bertambah banyaknya pembatalan perjalanan.
"Kita berusaha maintain tamu-tamu kita agar tetap datang. Artinya aspek destinasi akan aman karena sudah menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Namun untuk biaya domain tamu, kalau ada keluarga 5 orang akan sangat terasa belum apa-apa sudah ada keluar uang besar. Harusnya untuk liburan, sekarang untuk biaya swab," jelasnya.
Karena itu, pelaku usaha perhotelan pasrah akan tingkat okupansi. Pasalnya, tanpa ada kebijakan itu pun okupansi hotel di Bali masih sangat rendah. Saat ini okupansi hanya 30% atau 70% kamar hotel di Bali kosong.
"Kami di kawasan Kuta ini okupansi akhir tahunon handmasih 25%-30%, artinya belum signifikan dan kami tidak berharap bahwa akhir tahun sebesar tahun lalu. Paling maksimal kita isi 40%-50%. Itu pun kalau nggak ada kebijakanswabuntuk pasar domestik. Tapi sekarang setelah ada kebijakan ini, akan berkurang," katanya.
Di sisi lain, Ia tidak bisa menyembunyikan bahwa ada rasa merasa kebingungan diantara para pelaku usaha. Bukan apa-apa, industri ini sudah semaksimal mungkin dalam menyiapkan protokol kesehatan demi menyambut tamu.
"Sebetulnya kami mengerti tujuan dilakukan ini untuk membatasi kerumunan massa ketika natal dan tahun baru. Namun kita tahu sampai saat ini memang klaster pariwisata nggak ada di Bali. Protokol CHSE (Clean, Health, Safety & Environment) sudah sangat siap, sehingga ketika terjadi aturan ini memang untuk teman-teman di industri itu sedikit membingungkan," sebutnya.
Banyak pengusaha hotel yang kebingungan tidak lepas dari kebijakan pemerintah tersebut. Pasalnya, hotel-hotel di Bali sudah menyiapkan penerapan protokol kesehatan sejak pembukaan turis domestik tahun akhir Juli silam. Salah satu momen yang sangat ditunggu yakni akhir tahun ini, jika ada regulasi tambahan, bukan tidak mungkin akan makin banyak yang memutuskan pembatalan liburan.
"Kami tahu sebetulnya agar nggak boleh ada kerumunan massa, namun ketika mereka datang menikmati liburan akhir tahun di villa bersama keluarga, tidak pesta pora saya kira itu nggak masalah dan tempat-tempat untuk berlibur juga sudah mendapat sertifikasi CHSE. Artinya protokol udah maksimal di tempat-tempat seperti Ubud, Seminyak dan Jimbaran," jelasnya.
Meski demikian, apapun kebijakan akhir yang diambil pemerintah mau tak mau harus didukung. Apalagi tujuannya untuk menekan angka penyebaran Covid-19.
"Kita mengerti dan mendukung kebijakan pemerintah dan berusaha memahami antara himbauan untuk masyarakat produktif aman Covid-19 bisa dijalankan," sebut Wakil Ketua Umum Kadin Bali Bidang Akomodasi dan Pengembangan Pariwisata ini
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengusaha Keroyokan Galang Donasi untuk Atasi Pandemi Covid