Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah kabar ada program vaksinasi Covid-19 yang akan dilakukan secara mandiri, muncul sebuah petisi yang meminta pemerintah untuk melakukan vaksinasi gratis kepada seluruh masyarakat di Tanah Air.
Target masyarakat vaksinasi yang dipatok pemerintah adalah mereka yang berusia 18-59 tahun. Menurut pemerintah, ada 160 juta orang yang berada di rentang usia itu. Apabila total penduduk Indonesia tahun ini mencapai 270 juta jiwa, maka target usia vaksinasi hanya menjangkau 59,2% saja dari total populasi penduduk RI.
Lebih lanjut, pemerintah mematok 60% dari total 160 juta penduduk berusia 18-59 tahun yang akan menerima vaksin Covid-19 dengan status Emergency Use Authorization (EUA) pada 2021. Artinya hanya hanya ada 107 juta orang yang bakal mendapat vaksinasi tahun depan.
Hanya saja yang menuai respons negatif dari publik adalah skema vaksinasi. Pemerintah hanya akan menanggung 32 juta orang saja. Sisanya sebanyak 75 juta orang lainnya diminta untuk melakukan program vaksinasi secara mandiri.
Sebuah petisi yang diinisiasi oleh pakar sosiologi bencana dari Universitas Teknologi Nanyang Sulfikar Amir PhD di situs change.org tersebut mengatakan bahwa program mandiri merupakan salah satu bentuk komersialisasi vaksin di tengah kondisi darurat seperti pandemi sekarang ini.
Adanya komersialisasi vaksin hanya akan menggagalkan tujuan vaksinasi Covid-19 itu sendiri mengingat butuh 70% lebih masyarakat yang tervaksinasi untuk memicu munculnya herd immunity atau imunitas kelompok.
Apabila sebagian besar masyarakat harus merogoh kantongnya sendiri untuk mendapatkan vaksin maka hal ini akan menurunkan tingkat partisipasi masyarakat terhadap program tersebut. Alhasil target dan tujuan bisa tidak tercapai.
Namun sebenarnya apakah mungkin melakukan vaksinasi Covid-19 untuk seluruh masyarakat Indonesia secara serempak. Kalaupun mungkin berapa kira-kira biaya yang harus dianggarkan?
Menggunakan panduan dari WHO dan mempertimbangkan jenis vaksin Covid-19 yang tersedia, rata-rata setiap orang membutuhkan dua dosis atau dua kali suntikan vaksin.
Dengan asumsi tingkat pemborosan maksimal mencapai 15%, maka total vaksin yang dibutuhkan untuk mengimunisasi seluruh masyarakat RI tanpa terkecuali mencapai 580,5 juta dosis.
Target tersebut sangatlah ambisius mengingat vaksin Covid-19 masih menjadi barang langka. Lagipula pada beberapa kasus penyakit menular vaksin untuk orang dewasa, anak dan lansia juga membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Lembaga konsultan manajemen global McKinsey & Company memperkirakan bahwa total kapasitas manufaktur tahun depan mencapai lebih dari 8 miliar dosis vaksin. Ini saja tidak cukup untuk memvaksinasi seluruh manusia di muka bumi mengingat ada 7,8 miliar penduduk dunia dan setiap orang membutuhkan 2 kali suntik.
Sebagai barang langka vaksin juga diperebutkan oleh banyak pihak. Organisasi dan lembaga think tank nirlaba yang fokus pada pengentasan kemiskinan Oxfam melaporkan saat ini negara-negara kaya dengan 13% populasi penduduk global telah mengamankan 51% dari total dosis vaksin yang bisa diproduksi para pengembang.
Menurut kalkulasi Oxfam ketika kelima kandidat vaksin tadi bisa diproduksi masih ada dua per tiga penduduk bumi yang harus menunggu untuk diimunisasi setidaknya sampai 2022.
Kapasitas produksi kelima kandidat vaksin tersebut, menurut Oxfam, bisa mencapai 5,94 miliar dosis. Apabila satu orang membutuhkan dua dosis vaksin maka jumlah tersebut mampu memasok kebutuhan vaksinasi untuk 2,97 miliar orang.
Kesepakatan terkait pasokan vaksin sudah mencapai 5,3 miliar dosis dan sebanyak 2,73 miliar dosis (51%) sudah dipesan oleh negara-negara maju seperti Inggris, AS, Australia, Hong Kong & Macau, Jepang, Swiss, Israel dan Uni Eropa.
Sementara sisanya sebanyak 2.575 miliar dosis telah dibeli oleh atau dijanjikan ke negara-negara berkembang termasuk India, Bangladesh, China, Brasil, Indonesia dan Meksiko.
Pemerintah Inggris telah mengamankan sejumlah dosis vaksin sehingga 1 orang warganya mendapat pasokan 5 dosis vaksin. Jelas ini sangat kontras dengan kondisi di Bangladesh yang sampai sekarang hanya mendapat jatah 1 dosis untuk 9 orang menurut Oxfam.
Apabila menggunakan skenario 160 juta masyarakat Indonesia yang harus divaksinasi, maka butuh setidaknya 344 juta dosis vaksin yang disediakan untuk program imunisasi masal yang dilakukan tahun depan.
Untuk sementara waktu, Indonesia telah mengamankan 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh perusahaan farmasi China bernama Sinovac Biotech Ltd. Vaksin tersebut menggunakan teknologi yang konvensional dalam pengembangannya dengan menginaktifkan virus.
Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah masih menanti 1,8 juta dosis vaksin jadi di awal tahun 2021. Selain itu di bulan Desember ini rencananya Sinovac akan mengirim 15 juta dosis vaksin dalam bentuk bahan baku yang akan diproses lebih lanjut oleh Bio Farma.
Pasokan vaksin dalam bentuk bahan baku juga akan dikirim Januari 2021 dengan total 30 juta dosis vaksin. Jika dikalkukasi Indonesia telah berhasil mengamankan setidaknya 48 juta dosis vaksin Covid-19 sampai saat ini dari Sinovac.
Jelas jumlah itu sangat tidak mencukupi. Untuk itu pemerintah juga menjajaki kemungkinan kerja sama atau bahkan pemesanan vaksin Covid-19 dari produsen lain. Selain itu, untuk mengatasi masalah ketergantungan impor Indonesia juga mengembangkan vaksin Covid-19 sendiri lewat konsorsium yang dipimpin oleh LBM Eijkman.
Pada Oktober lalu, pemerintah disebut sepakat untuk membeli vaksin dari AstraZeneca dengan total 100 juta dosis. Vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca berbeda dengan Sinovac karena menggunakan teknologi yang lebih modern.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyampaikan sedang mencoba menjajaki kerja sama untuk mendapatkan vaksin dari produsen China yang lain yakni Sinopharm sebanyak 10-30 juta dosis.
Secara total maka setidaknya ada 178 juta dosis vaksin potensial yang bisa dikantongi oleh Indonesia. Bahkan dengan status tersebut pun masih belum mencukupi kebutuhan vaksinasi untuk 160 juta penduduk.
Lantas berapa anggaran yang digelontorkan pemerintah?
Setiap pengembang vaksin Covid-19 mematok harga yang berbeda-beda untuk produknya. Sementara ini vaksin AstraZeneca masih merupakan yang termurah dengan harga per dosisnya mencapai US$ 3 - US$ 4. Sedangkan untuk yang termahal adalah Sinopharm yang mencapai US$ 144 per dosisnya.
Untuk kasus vaksin AstraZeneca, pemerintah disebut bakal merogoh kurang lebih US$ 500 juta untuk memperoleh 100 juta dosis vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi Inggris tersebut. Artinya untuk 1 dosis harganya US$ 5.
Asumsikan untuk Sinovac dan Sinopharm harganya masih menyeusaikan dengan harga pasar tanpa diskon dan tanpa menghitung biaya bahan baku vaksin saja untuk kasus Sinovac. Artinya butuh US$ 6 miliar - US$ 6,3 miliar. Menggunakan asumsi kurs Rp 14.000/US$ maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 84 triliun - Rp 88 triliun.
Ini baru untuk mengamankan 178 juta dosis vaksin yang bisa digunakan untuk kurang lebih 83 juta masyarakat Indonesia. Biaya tersebut juga baru untuk pengadaan saja, belum biaya logistik dan penyelenggaraan imunisasi nasional yang membutuhkan berbagai peralatan penunjang seperti jarum suntik hingga APD.
Biaya logistik setiap vaksin juga berbeda-beda. Untuk kasus vaksin yang menggunakan teknologi modern seperti RNA atau DNA maka biaya logistiknya akan cenderung lebih mahal dibanding platform biasa karena memerlukan aparatus atau kontainer dengan suhu yang sangat rendah.
Artinya meski vaksin AstraZeneca bisa jauh lebih murah ketimbang vaksin Sinovac bisa saja ongkos logistiknya lebih mahal karena teknologi transportasinya jelas berbeda. Lagipula jika melihat anggaran untuk vaksinasi pemerintah juga terbilang minim.
Pada 12 November lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa anggaran untuk vakinasi Covid-19 tahun ini mencapai Rp 5 triliun, sedangkan tahun depan sebesar Rp 29,23 triliun. Sehingga total dana yang telah dianggarkan pemerintah untuk pengelolaan vaksin mencapai Rp 34,23 triliun.
Di tengah pemasukan negara dari pajak yang merosot signifikan dan pengeluaran yang membengkak, ruang fiskal yang terbatas akibat defisit anggaran yang jebol menjadi dilema. Anggaran yang minim harus benar-benar dikelola seoptimal mungkin agar nyawa dan ekonomi bisa sama-sama diselamatkan.
Untuk itu rasanya sulit untuk benar-benar melaksanakan program vaksinasi seluruh masyarakat Indonesia secara serempak dan cepat di tengah langkanya vaksin, belum adanya hasil uji klinis akhir yang memadai, kapasitas anggaran yang sangat terbatas hingga kompetisi dengan negara lain.
Namun tetap saja tantangan di atas tidak bisa dijadikan dalih dan harus dicari solusinya. Pemerintah wajib hukumnya untuk mengupayakan vaksinasi yang merata kepada seluruh rakyat dengan tanpa ada embel-embel komersialisasi barang seharusnya menjadi milik publik
TIM RISET CNBC INDONESIA