
Ramai-ramai Masuk Jebakan Utang China, Sri Lanka Hingga Kenya

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam memperluas ekspansi ekonomi, China selalu berniat untuk memajukan infrastruktur negara-negara yang ada dalam cincin perdagangannya. Hal itu diharapkan akan memudahkan China membangun hegemoni baru dalam perekonomian dunia.
Pada tahun 2013, Presiden China Xi Jinping dalam kunjungannya ke Kazakhstan dan Indonesia, mengenalkan ide inisiatifnya itu yang dinamai inisiatif One Belt One Road atau OBOR.
Dalam implementasinya, China akan memberikan semacam pinjaman jangka panjang bagi negara-negara berkembang di jalur perdagangannya agar dapat meningkatkan kemampuan infrastruktur. Dengan demikian, negara-negara itu mampu membuka jalur dagang baru dengan akses pasar yang lebih luas.
Dalam pinjaman itu, China akan fokus pada dua sektor, yaitu transportasi dan energi. Selain uang, China juga akan membantu pembangunan infrastruktur tersebut dengan bantuan teknis dan teknologi yang dimiliki Negeri Panda itu.
Tercatat setelah inisiatif ini dicanangkan, mulai banyak negara beramai-ramai untuk mengambil dana segar untuk pembangunan infrastruktur. Tercatat negara-negara Afrika, Asia, dan Eropa Timur mulai memadati Beijing untuk mendapatkan uang tersebut.
Sejumlah analis menilai ini adalah langkah imperialisme baru supaya Beijing mendapatkan dukungan politik baru dalam perkembangannya menuju negeri adidaya. Negara-negara itu nantinya akan memiliki semacam utang budi kepada China sehingga memuluskan niat dan program-program Beijing dalam menguasai percaturan politik dunia.
Apalagi akhir-akhir ini China sedang diserang oleh pandemi Covid-19 yang membutuhkan banyak dana. Hal itu membuat negara besar itu harus lebih selektif lagi dalam menentukan kepada siapa pembiayaan OBOR akan dicairkan. Banyak asumsi China akan mentransfer dana itu kepada sahabatnya yang paling "loyal".
Namun, pendanaan OBOR ini juga menimbulkan kekhawatiran besar. Salah satu hal yang disorot adalah mengenai skenario apabila negara-negara itu tidak dapat membayar utang.
Dikatakan bila suatu negara tidak mampu membayar utangnya, maka China bisa mengambil aset tersebut dan Negeri Tirai Bambu akan langsung mengelola sendiri tanpa campur tangan negara tersebut. Ditakutkan, China bisa semakin bertindak sewenang-wenang terhadap negara yang jatuh dalam. Maka itu, OBOR dianggap sebagai "Jebakan Utang China".
Saat ini ada tiga negara yang potensial atau bahkan sudah jatuh dalam "Jebakan Utang China", yaitu Sri Lanka, Kenya, dan Pakistan.
1. Sri Lanka
Sejauh ini baru satu negara yang benar-benar jatuh dalam "Jebakan Utang China", yaitu Sri Lanka. Sri Lanka gagal melunasi kewajibannya dalam mengembalikan dana pembangunan Pelabuhan Hambantota.
Pelabuhan itu dibangun pada tahun 2008 dengan bantuan dana segar dari China sebesar US$ 361 juta (Rp 5 triliun). Di 2016, Colombo akhirnya menyerahkan pelabuhan itu kepada perusahaan China untuk mengelolanya dan akan memindahkan angkatan laut negara itu ke wilayah yang sudah dikuasai Beijing itu, membuka peluang bagi China untuk menguasai gerak-gerik tentara Sri Lanka.
Selain itu, bagi Beijing, ini merupakan hal yang menguntungkan untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Samudera Hindia dan sedikit demi sedikit menggeser India sebagai patron di kawasan itu.
2. Kenya
Baru-baru ini muncul lagi negara yang "teriak" karena tidak mampu membayar hutang triliunan ke Negeri Tirai Bambu. Kenya mengeluhkan mereka tidak mampu untuk membayar USD 350 juta (Rp 4,9 triliun) yang digunakan untuk membiayai jalur kereta baru yang menghubungkan kota pelabuhan Mombasa.
Hal itu dikarenakan volume arus barang dan orang yang melewati jalur itu masih sangat sepi, bahkan sebelum pandemi Covid-19 sekalipun.
Parlemen Kenya sudah meminta pemerintah untuk memotong biaya operasional kereta yang dinamai SGR itu hingga 50% dan segera menegosiasikan kembali pinjaman dengan kreditor China sebelum terlambat.
3. Maladewa
Negara kepulauan kecil di Samudera Hindia ini juga merupakan negara yang jatuh dalam kolam utang China selanjutnya. Maladewa meminjam dana sebesar US$ 200 juta atau setara Rp 2 triliun untuk menghubungkan pulau ibukota Male ke pulau Hulumale, di mana bandara dan lahan luas masih banyak tersedia.
Hal ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar mengenai keterbatasan lahan properti dan akses menuju kawasan ekonomi baru. Jembatan itu rampung di 2018 dan diberi nama "China-Maldives Friendship Bridge".
Selain Jembatan, Maladewa juga terus meminjam uang untuk pengembangan infrastruktur lainnya.
Pada tahun ini, beberapa mantan pejabat Maladewa dan perwakilan China menunjukkan angka utang terbaru. Mereka menyebutkan Male berutang ke China antara US$ 1,1 miliar (Rp 11 triliun) hingga US$ 1,4 miliar (Rp 15 triliun). Angka ini masih merupakan jumlah yang sangat besar untuk negara pulau-pulau itu. PDB Maladewa saat ini adalah sekitar US$ 4,9 miliar.
Negara yang bergantung dari sektor pariwisata ini sangatlah terpukul oleh pandemi Covid-19. Dan jika pendapatan pemerintah Maladewa turun, mungkin sulit untuk membayar kembali pinjaman pada tahun 2022-2023. Hal ini membawa ancaman baru bagi Maladewa jika Male tidak ingin senasib dengan tetangganya Sri Lanka.
Bila melakukan hal yang sama dengan Sri Lanka, secara geopolitik kejatuhan Maladewa juga dapat menguntungkan China dalam menguasai wilayah Samudera Hindia. China akan lebih dekat ke negara-negara Arab, Afrika, dan Anak benua Asia lainnya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BUMN China Sulit Bayar Utang