
Beda dengan Eropa, Negara Berkembang Masih Butuh Batu Bara

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia bersepakat untuk menekan penggunaan energi fosil seperti batu bara dan beralih ke sumber energi baru terbarukan (EBT). Namun, konversi ke EBT lebih masif ini cenderung digalakkan oleh negara-negara maju.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arviyan Arifin membenarkan pemakaian batu bara kini sudah banyak ditinggalkan negara maju dan ini menjadi tantangan, terutama bagi produsen batu bara seperti Indonesia karena sumber daya batu bara domestik masih besar.
Meski demikian, dia meyakini dalam beberapa tahun ke depan industri batu bara pada umumnya dan khususnya untuk Bukit Asam masih akan baik. Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang masih membutuhkan batu bara untuk sumber pembangkit listrik yang murah.
"Saya yakini masa depan PTBA di industri batu bara pada umumnya masih baik di kawasan negara yang berkembang," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu, (25/11/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan pemakaian listrik di negara berkembang seperti Indonesia masih tinggi dan rasio elektrifikasinya belum maksimal. Dengan kondisi objektif seperti ini artinya memerlukan pertumbuhan energi listrik yang lebih tinggi.
"Beda dengan Eropa, sehingga mereka lebih mudah konversi bauran energi," jelasnya.
Menurutnya, dari sisi harga, batu bara masih menjadi energi yang paling murah dibandingkan sumber energi lainnya, sehingga tak ayal ini menjadi pilihan yang dipakai sejumlah negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan listriknya.
Dengan cadangan yang besar, menurutnya PTBA dapat memproduksi batu bara hingga 20-30 tahun ke depan.
"PTBA punya cadangan besar, masih punya harapan yang baik untuk 20-30 tahun ke depan. Selesai itu yang harus dipikirkan selanjutnya," paparnya.
Seperti diketahui, pemerintah memiliki target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 mendatang. Demi mencapai target tersebut, beberapa rencana di sektor kelistrikan tengah disiapkan.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan salah satu upaya untuk meningkatkan porsi energi baru terbarukan adalah dengan mengurangi porsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Dia mengatakan, saat ini porsi PLTU mencapai 65%. Sementara target energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 sebesar 23% sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari 10,9% pada semester I 2020. Oleh karena itu, lanjutnya, diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan porsi EBT ke dalam sistem ketenagalistrikan nasional.
Salah satu cara yang bisa dilakukan menurutnya adalah dengan mengurangi porsi PLTU. Saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan PLTU tua yakni pembangkit dengan usia lebih dari 20 tahun untuk dihentikan dan digantikan dengan energi baru terbarukan.
"Kita lagi mau lihat dan menghitung pada PLTU yang tua, yang sudah berumur mungkin 20-25 tahun apa ini di-replace (diganti) atau tetap digunakan," tuturnya dalam dalam acara Indonesia EBTKE ConEx 2020, Selasa (24/11/2020).
Menurutnya, dua opsi tersebut masih dikaji karena dari segi selisih harga EBT sudah mulai turun, sehingga bisa bersaing dengan harga batu bara. Namun demikian, pihaknya tetap berharap bila pembangkit listrik berbahan bakar EBT yang menggantikan PLTU ini, tidak akan membebani PLN di dalam biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Pihaknya pun mempertimbangkan salah satu opsi EBT untuk menggantikan PLTU yakni melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Pilihan lain adalah PLTU dipertahankan dengan substitusi energi primernya dengan biomass co-firing. Menurutnya, di beberapa pembangkit telah dilakukan pengujian dengan kandungan biomassa 3%-5% sebagai bahan bakar PLTU dan hasilnya pun menunjukkan tidak ada gangguan pada pembangkit.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Membaik, Permintaan Batu Bara Diramal Naik di 2021
