SME SERIES

Sepenting Apa Penyelamatan UMKM di Krisis Pandemi?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 November 2020 10:35
UMKM Pengrajin Rotan (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: UMKM Pengrajin Rotan (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tidak seperti tahun 1998 tatkala korporasi bertumbangan sementara usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) bertahan, krisis pandemi 2020 justru memukul UMKM. Apa yang salah tahun ini?

UMKM bisa dibilang sebagai perusahaan gurem, dengan aset likuid Rp 50 juta-Rp 10 miliar atau omzet Rp 300 juta- Rp 500 miliar. Namun, kiprahnya tidak bisa diabaikan dalam perekonomian global dengan menyumbang separuh Produk Domestik Bruto (PDB), menurut Bank Dunia.

Dengan demikian, dari PDB dunia yang mencapai US$ 84,8 triliun pada 2018, maka US$ 42,4 triliun di antaranya disumbang oleh UMKM. Sumbangan usaha kecil tersebut setara dengan gabungan PDB Amerika Serikat (AS), China, Jepang, dan Jerman.

Sebagai informasi, nilai PDB Indonesia saja "hanya" US$ 1 triliun. Oleh karenanya, bisa dibayangkan besar dan signifikannya peran UMKM dalam roda perekonomian dunia. Sektor ini terbukti lebih tahan krisis 1998 dibandingkan korporasi besar, sehingga diyakini menjadi sokoguru alis tulang punggung ekonomi karena menyumbang 70% lapangan kerja di dunia.

Namun tahun ini kondisi sebaliknya terjadi. Ketika virus Covid-19 menyerang dan mengganggu aktivitas masyarakat, UMKM berguguran sementara korporasi relatif bertahan. Separuh PDB dunia itu terkikis, sehingga lebih dari 40 negara di dunia memasuki resesi, termasuk Indonesia.

Survei Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang dipublikasikan dalam laporan berjudul "ILO SCORE Global Covid-19 Enterprise Survey" menunjukkan bahwa UMKM mengalami tekanan lebih besar dari periode yang pernah mereka hadapi.

Dari 1.000 perusahaan yang disurvei ILO di delapan negara dari seluruh benua, 70% di antaranya melaporkan penghentian operasi. Dari jumlah tersebut, 50% di antaranya menutup bisnis secara sementara karena mengikuti aturan dari pemerintah setempat, sedangkan 50% lainnya karena anjloknya permintaan atau karena adanya kasus Covid-19.

Lebih dari 75% UKM mengalami atau mengekspektasikan penurunan permintaan sepanjang 2020. Dalam beberapa kasus, penurunan pendapatan terhitung sangat tinggi. Satu dari tiga pelaku UKM mengantisipasi pendapatan mereka anjlok separuh, dan berharap situasi membaik.

Kabar buruknya, Indonesia dan Pakistan menjadi dua negara paling pesimistis dengan lebih dari 80% responden memperkirakan bahwa dampak buruk pandemi akan dirasakan sepanjang 2020.

Di beberapa negara, seperti Myanmar, Ghana, Bolivia, dan Kolombia, muncul optimisme, meski mengakui masih ada ketakpastian. Namun, Indonesia, Peru, Tunisia dan Pakistan menilai akan ada kerugian besar, dengan proporsi wirausahawan yang bersikap demikian melebihi 25%.

Akibatnya, mereka menahan produksi dan terpaksa melakukan efisiensi untuk menjaga kesehatan arus kas. Tak ayal, pasar tenaga kerja pun tertekan, karena 69% pelaku usaha-jika mengacu pada survei ILO tersebut-mengalami penurunan kapasitas produksi.

Dari angka tersebut, 43% di antaranya meminta pekerja mengambil cuti, 42% sengaja mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan kontrak, dan 19% responden menyatakan menjalankan skema kerja dengan cuti di luar tanggungan. Sebanyak 11% di antaranya bahkan menyatakan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara permanen.

qFoto: Sumber: ILO

Jika mengacu pada survei ILO tersebut, terlihat bahwa kondisi pandemi memukul pasar atau permintaan atas produk mereka sehingga dipaksa melakukan efisiensi organik, berupa pemangkasan jumlah karyawan. Aksi PHK niscaya tidak akan terjadi jika omzet terjaga.

Lalu di mana problemnya? Apakah daya beli masyarakat hilang? Tidak. Kendala yang mengemuka dari sisi permintaan adalah anjloknya konsumsi, berganti menjadi aktivitas menabung.

Hal ini terlihat dari lonjakan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan sebesar 12% (secara tahunan) per September menjadi Rp 6.383,8 triliun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa konsumsi rumah tangga anjlok 4,04%.

Secara umum, konsumsi terhambat karena masyarakat tidak bisa leluasa melakukan aktivitas konsumtif. Dari situ, efek berantai terjadi dengan munculnya kelompok lain di masyarakat yang aktivitas konsumsinya terhenti atau anjlok karena terkena PHK.

Mengingat UMKM menyerap 97% tenaga kerja atau setara 116,6 juta pekerja-menurut data Kementerian Koperasi dan UKM (2017), maka gelombang PHK di UMKM memiliki efek lebih buruk bagi pasar tenaga kerja nasional ketimbang di korporasi (usaha besar).

Sayangnya, struktur UMKM Indonesia tak kunjung berubah di mana usaha mikro masih dominan dengan porsi 98,7% dari total unit usaha nasional, diikuti sektor kecil (1,2%) dan menengah (0,11%). Porsi ini, mengacu pada data Kemenko-UKM, tak berubah dari posisi 2010.

Ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia ambruk akibat pandemi karena UMKM sebagai sokoguru ekonomi tak banyak naik kelas. Perlu perhatian serius pemerintah terhadap mereka jika ingin ekonomi nasional pulih secepatnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular