
Sepenting Apa Penyelamatan UMKM di Krisis Pandemi?

Di beberapa negara, seperti Myanmar, Ghana, Bolivia, dan Kolombia, muncul optimisme, meski mengakui masih ada ketakpastian. Namun, Indonesia, Peru, Tunisia dan Pakistan menilai akan ada kerugian besar, dengan proporsi wirausahawan yang bersikap demikian melebihi 25%.
Akibatnya, mereka menahan produksi dan terpaksa melakukan efisiensi untuk menjaga kesehatan arus kas. Tak ayal, pasar tenaga kerja pun tertekan, karena 69% pelaku usaha-jika mengacu pada survei ILO tersebut-mengalami penurunan kapasitas produksi.
Dari angka tersebut, 43% di antaranya meminta pekerja mengambil cuti, 42% sengaja mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan kontrak, dan 19% responden menyatakan menjalankan skema kerja dengan cuti di luar tanggungan. Sebanyak 11% di antaranya bahkan menyatakan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara permanen.
![]() |
Jika mengacu pada survei ILO tersebut, terlihat bahwa kondisi pandemi memukul pasar atau permintaan atas produk mereka sehingga dipaksa melakukan efisiensi organik, berupa pemangkasan jumlah karyawan. Aksi PHK niscaya tidak akan terjadi jika omzet terjaga.
Lalu di mana problemnya? Apakah daya beli masyarakat hilang? Tidak. Kendala yang mengemuka dari sisi permintaan adalah anjloknya konsumsi, berganti menjadi aktivitas menabung.
Hal ini terlihat dari lonjakan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan sebesar 12% (secara tahunan) per September menjadi Rp 6.383,8 triliun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa konsumsi rumah tangga anjlok 4,04%.
Secara umum, konsumsi terhambat karena masyarakat tidak bisa leluasa melakukan aktivitas konsumtif. Dari situ, efek berantai terjadi dengan munculnya kelompok lain di masyarakat yang aktivitas konsumsinya terhenti atau anjlok karena terkena PHK.
Mengingat UMKM menyerap 97% tenaga kerja atau setara 116,6 juta pekerja-menurut data Kementerian Koperasi dan UKM (2017), maka gelombang PHK di UMKM memiliki efek lebih buruk bagi pasar tenaga kerja nasional ketimbang di korporasi (usaha besar).
Sayangnya, struktur UMKM Indonesia tak kunjung berubah di mana usaha mikro masih dominan dengan porsi 98,7% dari total unit usaha nasional, diikuti sektor kecil (1,2%) dan menengah (0,11%). Porsi ini, mengacu pada data Kemenko-UKM, tak berubah dari posisi 2010.
Ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia ambruk akibat pandemi karena UMKM sebagai sokoguru ekonomi tak banyak naik kelas. Perlu perhatian serius pemerintah terhadap mereka jika ingin ekonomi nasional pulih secepatnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)[Gambas:Video CNBC]