
Jika Ingin Lolos Resesi, UMKM Harus Melek Digital!

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah tersendatnya aktivitas konsumtif masyarakat akibat pembatasan sosial di era pandemi, perusahaan yang sukses menggapai konsumen lewat kanal digital mampu bertahan. Sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sejauh ini tertinggal.
Sebagaimana diulas dalam tulisan sebelumnya, krisis pandemi lebih memukul sektor UMKM ketimbang usaha besar alias berbeda dari krisis 1998 di mana UMKM bertahan. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mengonfirmasi bahwa pukulan Covid-19 terhadap sektor jasa justru lebih besar dari yang dialami sektor manufaktur.
Di Indonesia, ini menjadi kabar buruk karena mayoritas UMKM kita (menurut data Kementerian Koperasi dan UKM per 2014), bergerak di sektor jasa, yakni mencapai separuh dari 56,5 juta UMKM di Indonesia.
Lebih detilnya, data Sensus Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 46,4% UMKM nasional bergerak di sektor perdagangan besar, eceran dan perawatan otomotif. Penyediaan akomodasi makanan dan minuman berada di posisi kedua dengan porsi 17%, diikuti industri pengolahan (16,7%).
Sektor perdagangan besar adalah penjualan barang tanpa proses penambahan nilai, kecuali kegiatan penyortiran atau pengemasan ulang. Misalnya, pedagang buah yang membeli buah dalam skala besar dan dijual kembali secara eceran, atau distributor makanan kecil.
Di tengah pandemi, konsumsi masyarakat yang terganggu dan kebijakan pembatasan sosial mempersulit UMKM yang bergerak di sektor perdagangan yang berbasis keramaian dan pergerakan bebas masyarakat. Demikian juga sektor perbengkelan dan rumah makan.
Menurut Organisasi untuk Pembangunan dan Kerja-Sama Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD), pandemi memiliki dua dampak terburuk bagi UKM, yakni dari sisi permintaan dan penawaran barang/jasa.
Dari sisi penawaran, pelaku usaha menghadapi kendala produksi berupa proses yang terganggu oleh karantina wilayah (lockdown), pembatasan sosial, dan pekerja yang tak bisa memaksimalkan potensinya karena sakit, terkena kewajiban karantina mandiri, dll.
Dari sisi permintaan, ada perubahan dramatis yang menekan pendapatan mereka sehingga mengganggu likuiditas para pelaku usaha tersebut. Konsumen kehilangan daya konsumsi karena tidak berani berbelanja di luar rumah guna menghindari risiko Covid-19, dan bahkan kehilangan daya beli karena menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).