SME SERIES

Jika Ingin Lolos Resesi, UMKM Harus Melek Digital!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
26 November 2020 11:20
BRIsyariah Salurkan Dana PEN untuk UMKM
Foto: BRIsyariah Salurkan Dana PEN untuk UMKM (Dok. BRIsyariah)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah tersendatnya aktivitas konsumtif masyarakat akibat pembatasan sosial di era pandemi, perusahaan yang sukses menggapai konsumen lewat kanal digital mampu bertahan. Sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sejauh ini tertinggal.

Sebagaimana diulas dalam tulisan sebelumnya, krisis pandemi lebih memukul sektor UMKM ketimbang usaha besar alias berbeda dari krisis 1998 di mana UMKM bertahan. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mengonfirmasi bahwa pukulan Covid-19 terhadap sektor jasa justru lebih besar dari yang dialami sektor manufaktur.

Di Indonesia, ini menjadi kabar buruk karena mayoritas UMKM kita (menurut data Kementerian Koperasi dan UKM per 2014), bergerak di sektor jasa, yakni mencapai separuh dari 56,5 juta UMKM di Indonesia.

Lebih detilnya, data Sensus Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 46,4% UMKM nasional bergerak di sektor perdagangan besar, eceran dan perawatan otomotif. Penyediaan akomodasi makanan dan minuman berada di posisi kedua dengan porsi 17%, diikuti industri pengolahan (16,7%).

Sektor perdagangan besar adalah penjualan barang tanpa proses penambahan nilai, kecuali kegiatan penyortiran atau pengemasan ulang. Misalnya, pedagang buah yang membeli buah dalam skala besar dan dijual kembali secara eceran, atau distributor makanan kecil.

Di tengah pandemi, konsumsi masyarakat yang terganggu dan kebijakan pembatasan sosial mempersulit UMKM yang bergerak di sektor perdagangan yang berbasis keramaian dan pergerakan bebas masyarakat. Demikian juga sektor perbengkelan dan rumah makan.

Menurut Organisasi untuk Pembangunan dan Kerja-Sama Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD), pandemi memiliki dua dampak terburuk bagi UKM, yakni dari sisi permintaan dan penawaran barang/jasa.

Dari sisi penawaran, pelaku usaha menghadapi kendala produksi berupa proses yang terganggu oleh karantina wilayah (lockdown), pembatasan sosial, dan pekerja yang tak bisa memaksimalkan potensinya karena sakit, terkena kewajiban karantina mandiri, dll.

Dari sisi permintaan, ada perubahan dramatis yang menekan pendapatan mereka sehingga mengganggu likuiditas para pelaku usaha tersebut. Konsumen kehilangan daya konsumsi karena tidak berani berbelanja di luar rumah guna menghindari risiko Covid-19, dan bahkan kehilangan daya beli karena menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebagai entitas usaha yang banyak bergerak di sektor perdagangan dan jasa, UMKM harus bisa menyiasati keadaan dengan menggunakan kanal non-fisik untuk menggapai konsumen. Dalam hal ini, UMKM cenderung kalah dibandingkan dengan usaha besar yang masih bisa menggapai konsumen dengan kanal penjualan atau pemasaran digital.

Jika mengacu pada survei Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) dalam laporan berjudul "ILO Score Programme", mayoritas UMKM dunia masih menggunakan pendekatan atau strategi bisnis konvensionl dalam menghdapi kendala pandemi.

Separuh dari UMKM yang disurvei menyatakan bahwa mereka telah memangkas produksi barang dan jasa untuk menyesuaikan keadaan. Sebanyak 38% lainnya melakukan negosiasi pembayaran gajii dan pembayaran kewajiban ke pemasok dan bank.

Terobosan penggunaan digital tidak banyak digunakan sebagai jalan keluar untuk menyiasati krisis pandemi. Survei ILO menyebutkan baru 29% UMKM yang mulai mendiversifikasi kanal penjualan dan produksi untuk mengurangi efek krisis pandemi terhadap bisnis mereka.

wSumber: ILO

Dengan kanal penjualan digital, baik melalui media sosial (medsos)-seperti Facebook, Twitter, atau Instagram-maupun melalui e-commerce seperti Bukalapak, Tokopedia, atau Shopee, produsen mampu menggapai dan melayani konsumen, asalkan mereka memiliki literasi digital yang cukup dan memahami seluk-beluk pemasaran digital.

Ini menjelaskan mengapa perusahan e-commerce dunia masih moncer meski menghadapi pandemi. Amazon, perusahan e-commerce terbesar dunia melaporkan lonjakan laba bersih sebesar 37% pada kuartal II-2020, menjadi US$ 6,3 miliar (Rp 89 triliun). Penjualan melesat 29% menjadi US$ 96,15 miliar, menyusul kenaikan aktivitas jual-beli masyarakat secara online.

Jika UMKM tidak mampu mengejar ketertinggalan tersebut dan terus tertekan kinerjanya, ILO memperkirakan bahwa pandemi bakal memicu pengangguran baru sebanyak 5,3 juta orang, di seluruh dunia dalam skenario paling optimistis selama pandemi.

Dengan skenario terburuk, angka pengangguran baru akibat pandemi tersebut diperkirakan bakal mencapai 24,7 juta. Ini menandakan bahwa upaya mempertahankan keberlanjutan bisnis akan sangat sulit bagi UKM jika tak ada terobosan secara fundamental.

Pada titik terburuk, kondisi ini bisa menular pasar keuangan yang ikut menekan keyakinan investasi di kalangan pelaku pasar modal, dan menekan fungsi intermediasi perbankan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular