Ini Alasan Pemerintah Sulit Hapuskan Premium

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 November 2020 12:22
Ilustrasi Pengisian BBM di SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM di SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/ RON) 88 atau Premium kembali hangat diperbincangkan.

Anggota Komite BPH Migas Muhammad Ibnu Fajar mengatakan penyaluran Premium dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan Perpres No.191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Berdasarkan peraturan ini, maka penyaluran dan distribusi Premium dilaksanakan oleh BPH Migas dengan membagi seluruh wilayah dan kota.

Menurutnya, belum bisa dihapusnya penyaluran Premium ini karena terkait pertimbangan daya beli masyarakat (affordability). Pada saat dikeluarkan Perpres No. 191 tahun 2014, imbuhnya, daya beli masyarakat untuk mengakses BBM yang murah menjadi pertimbangan.

"Ini soal affordability, menyangkut daya beli masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden tahun 2014, daya beli masyarakat relatif murah, terlepas masalah lingkungan atau RON 88. Kami BPH Migas sepanjang peraturan masih berlaku, maka kami akan mengikuti aturan dan ketentuan yang ada," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (23/11/2020).

Usulan penghapusan Premium sudah ada sejak 2015 dari rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi atau biasa dikenal juga dengan Tim Anti Mafia Migas sejak 2015 lalu.

Selain itu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.20 tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, juga mengatur bahwa bensin yang harus dijual ke publik minimum harus mengandung RON 91, tercantum dalam Pasal 3 ayat 2.

Berdasarkan Peraturan Menteri LHK ini semestinya Premium sudah tidak dijual lagi karena mengandung RON di bawah 91. Tidak hanya Premium, jenis bensin lain yang masih dijual di Indonesia dengan RON di bawah 91 adalah Pertalite yang memiliki RON 90.

Ibnu Fajar berpandangan, terlepas dari masalah lingkungan yang menjadi ranah Kementerian LHK, dia kembali menegaskan Premium berkaitan dengan daya beli masyarakat dalam mendapatkan BBM.

Menurutnya, ada tiga pemangku kepentingan (stake holder) untuk mengatasi persoalan BBM ini, yakni pemerintah, badan usaha, dan masyarakat. Dari sisi badan usaha, dia mengakui ada persoalan dalam pengadaan Premium karena tidak banyak kilang, baik kilang Pertamina maupun kilang di luar negeri, memproduksi bensin RON 88 ini.

Karena keterbatasan pasokan ini, maka yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bensin RON 88 ini bisa disalurkan. Namun sayangnya, karena badan usaha memperoleh penugasan dari pemerintah, maka ini menjadi isu tersendiri bagi badan usaha.

"Dari sisi badan usaha, hukumnya wajib menyalurkan, namanya juga penugasan. Tapi ketika badan usaha mengalami kesulitan dalam kinerja keuangan, kami meminta pemerintah ikut tanggung jawab," tuturnya.

BPH Migas: Masih Ada Wilayah di Jamali Yang Butuh BBM Ron 88(CNBC Indonesia TV)Foto: BPH Migas: Masih Ada Wilayah di Jamali Yang Butuh BBM Ron 88(CNBC Indonesia TV)
BPH Migas: Masih Ada Wilayah di Jamali Yang Butuh BBM Ron 88(CNBC Indonesia TV)

Dia mengatakan, jika pemerintah tidak turut berkontribusi, maka badan usaha penerima penugasan yakni Pertamina bisa melakukan aksi korporasi, seperti Program Langit Biru yang dilakukan Pertamina untuk mengurangi penyediaan Premium secara bertahap.

Sementara dari sisi masyarakat, lanjutnya, adanya pandemi Covid-19 juga berdampak pada semakin menurunnya daya beli masyarakat, sehingga ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk belum menghapus Premium.

"Dari sisi masyarakat, dengan kasus Covid-19 ini, terjadi penurunan daya beli masyarakat, sehingga perlu disalurkan BBM murah. Tapi dalam kondisi normal, perlu dilihat lagi karena sudah tidak banyak digunakan di negara lain," ujarnya.

Wacana penghapusan Premium di Jawa, Madura dan Bali (Jamali) menurutnya belum bisa disamaratakan di semua daerah. Pasalnya, tidak semua daerah di Jamali memiliki daya beli masyarakat yang tinggi.

"Wilayah Jawa pada saat peraturan dibuat memang memerlukan Premium. Kita lihat ke depan dinamikanya seperti apa. Kalau memang Premium ini kemudian mempengaruhi lingkungan, atau dari tekno ekonomi memungkinkan dan Pertamina alami kendala, maka perlu komunikasi dengan BPH Migas," kata Ibnu.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pertamina Perkirakan Penjualan Premium Turun 21% vs Kuota

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular