
RI Bakal Punya Blok Migas Raksasa Dekat Laut China Selatan

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia telah menemukan potensi hidrokarbon yang besar di dekat Laut China Selatan, yaitu di perairan Natuna dengan adanya Blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak 1973. Tak tanggung-tanggung, potensinya mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF).
Bahkan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut Blok East Natuna ini bakal menjadi blok migas raksasa di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam Webinar 'Indonesian Oil & Gas Upstream Outlook', Kamis (19/11/2020). Namun sayangnya, Blok East Natuna ini memiliki kandungan karbon dioksida (CO2) besar yakni 72%, sehingga menurutnya masih dikaji oleh Pertamina untuk pengembangan yang tepat dan ekonomis ke depannya.
"Ada kandungan 72% CO2 di dalamnya, ini sudah dibahas Pertamina sejak beberapa tahun lalu," ujarnya.
Sejak beberapa tahun lalu, lanjutnya, Pertamina dan pemerintah sudah membicarakan nilai keekonomian dari blok tersebut. Pihaknya pun berharap agar bisa menggunakan teknologi yang terbukti.
Karena besarnya investasi yang dibutuhkan untuk mengelola blok ini, maka pihaknya membuka peluang investasi dari investor lainnya untuk bekerja sama dengan Pertamina mengeksploitasi blok ini.
"Mungkin jika ada investor lain yang berminat, kita bisa berdiskusi dengan Pertamina, sehingga Blok East Natuna ini menjadi giant reserves (cadangan raksasa) di masa depan," ungkapnya.
Seperti diketahui, dari potensi hidrokarbon mencapai 222 TCF, namun karena besarnya kandungan karbon dioksida (CO2) di blok ini, membuat gas yang bisa dieksploitasi hanya sebesar 46 TCF. Meski turun drastis, namun potensi ini masih jauh lebih besar dibandingkan cadangan Blok Tangguh dan Blok Masela.
Besarnya kandungan karbon dioksida ini lah yang membuat blok ini tak kunjung dieksploitasi.
Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan pihaknya kini tengah mengkaji sejumlah terobosan yang bisa diterapkan di proyek Blok East Natuna ini, sehingga gas di blok ini bisa diproduksi dan bermanfaat bagi negara ini.
Salah satu ide yang sedang dikaji yaitu bagaimana memproses karbon dioksida (CO2) menjadi produk petrokimia, berbeda dari ide sebelumnya yakni berupa pemisahan karbon dioksida dari gas atau hidrokarbonnya.
Dia mengatakan, konsep sebelumnya berupa pemisahan karbon dioksida memakan biaya yang sangat tinggi, sehingga sulit mencapai nilai keekonomian dan memperhitungkan bagi hasil produksi antara pemerintah dan kontraktor.
Kini, pihaknya bersama profesional ahli teknik perminyakan lainnya mencoba mengkaji konversi CO2 menjadi produk petrokimia, lalu nanti karbon dioksida dan gas dari blok tersebut dialirkan ke Pulau Natuna dan membangun komplek petrokimia terintegrasi di sana.
"Ini masih study, masih diteliti lebih detail oleh para ahli bagaimana mengeksploitasinya, memanfaatkan gas di Natuna menjadi petrochemical," tuturnya kepada CNBC Indonesia.
Produk petrokimia yang dimaksud menurutnya bisa berupa methanol dan segala turunannya, termasuk dimethyl ether (DME) yang nantinya juga bisa berfungsi untuk substitusi LPG.
Berdasarkan data SKK Migas, setidaknya kini ada sembilan blok migas di perairan Natuna yang tengah dikembangkan. Dari sembilan blok migas tersebut, tiga blok masih dalam fase eksplorasi dan enam blok sudah tahap eksploitasi. Namun dari enam blok tahap eksploitasi, empat blok sudah berproduksi dan dua blok masih dalam tahap pengembangan.
Data SKK Migas yang diterima CNBC Indonesia tersebut menunjukkan produksi minyak di Natuna per 16 November mencapai 18.469,1 barel per hari (bph) dan produksi gas sebesar 402,7 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Gencar, RI 47 Tahun Nemu Migas di Natuna Tapi Gak Jalan
