
Gas Blok East Natuna Bisa Diolah Jadi Petrokimia, Ganti LPG

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki potensi hidrokarbon sangat besar di perairan Natuna, bahkan dari satu blok minyak dan gas bumi (migas) saja potensinya mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF), yakni di Blok East Natuna.
Namun, karena besarnya kandungan karbon dioksida (CO2) di blok ini, yakni mencapai hingga 71%, membuat gas yang bisa dieksploitasi hanya sebesar 46 TCF. Meski turun drastis, namun potensi ini masih jauh lebih besar dibandingkan cadangan Blok Tangguh dan Blok Masela.
Besarnya kandungan karbon dioksida ini lah yang membuat blok ini tak kunjung dieksploitasi, bahkan setelah 47 tahun ditemukan.
Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan pihaknya kini tengah mengkaji sejumlah terobosan yang bisa diterapkan di proyek Blok East Natuna ini, sehingga gas di blok ini bisa diproduksi dan bermanfaat bagi negara ini.
Salah satu ide yang sedang dikaji yaitu bagaimana memproses karbon dioksida (CO2) menjadi produk petrokimia, berbeda dari ide sebelumnya yakni berupa pemisahan karbon dioksida dari gas atau hidrokarbonnya. Dia mengatakan, konsep sebelumnya berupa pemisahan karbon dioksida memakan biaya yang sangat tinggi, sehingga sulit mencapai nilai keekonomian dan memperhitungkan bagi hasil produksi antara pemerintah dan kontraktor.
Kini, pihaknya bersama profesional ahli teknik perminyakan lainnya mencoba mengkaji konversi CO2 menjadi produk petrokimia, lalu nanti karbon dioksida dan gas dari blok tersebut dialirkan ke Pulau Natuna dan membangun komplek petrokimia terintegrasi di sana.
"Ini masih study, masih diteliti lebih detail oleh para ahli bagaimana mengeksploitasinya, memanfaatkan gas di Natuna menjadi petrochemical," tuturnya kepada CNBC Indonesia.
Produk petrokimia yang dimaksud menurutnya bisa berupa methanol dan segala turunannya, termasuk dimethyl ether (DME) yang nantinya juga bisa berfungsi untuk substitusi LPG.
Dengan demikian, lanjutnya, Indonesia ke depannya memiliki sejumlah opsi untuk menggantikan LPG yang impornya semakin meningkat. Bila dari pertambangan batu bara ada hilirisasi batu bara menjadi DME, di perminyakan juga bisa mengembangkan DME dari gas di Blok East Natuna ini.
"Teman-teman tambang membuat hilirisasi batu bara menjadi DME. Kami dari perminyakan mencoba mengubah CO2 menjadi DME. Kita bahu membahu," ujarnya.
Dari sisi teknologi menurutnya tak lagi menjadi masalah. Menurutnya sudah ada teknologi terbukti bisa mengubah CO2 menjadi produk petrokimia ini seperti teknologi asal Eropa.
"Ini memang tidak gampang, tapi dengan teknologi yang sudah ada, dengan terobosan yang kita miliki bersama dengan partner yang punya teknologi di luar negeri, Insya Allah kita bisa temukan solusi untuk mengembangkan Blok East Natuna menjadi produk yang bermanfaat bagi masyarakat," tuturnya.
Tak hanya bermanfaat dari sisi ketahanan energi, lanjutnya, hal ini bisa berdampak besar pada peningkatan penciptaan lapangan kerja nasional, kebangkitan industri migas nasional, serta menjaga kedaulatan negara. Dengan adanya aktivitas pertambangan minyak di perairan Natuna Timur itu, maka diharapkan tak akan ada klaim dari negara mana pun, termasuk China, daerah itu menjadi milik mereka.
"Makanya, jangan sampai kita lupa punya East Natuna yang kandungan minyaknya banyak sekali. Jangan sampai hilang, diklaim China, kita baru ribut, kan repot," imbuhnya.
Seperti diketahui, China dikabarkan telah menemukan ladang minyak dengan potensi 200 juta ton minyak dan 300 miliar ton gas di selatan Pulau Hainan, Laut China Selatan.
China juga disebut sudah menyelesaikan pembangunan platform penyimpanan (storage) di sana yang mampu menampung 53.000 ton migas. Storage ini akan digunakan Januari 2021 nanti.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Ngebor Migas di LCS, Apa Kabar Blok East Natuna RI?
