Wow! Proyek Gasifikasi Bakal Serap Batu Bara 103 Juta Ton

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
18 November 2020 20:05
Aktivitas bongkar muat batubara di Terminal  Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara, Senin (19/10/2020). Dalam satu kali bongkar muat ada 7300 ton  yang di angkut dari kapal tongkang yang berasal dari Sungai Puting, Banjarmasin, Kalimantan. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)  

Aktivitas dalam negeri di Pelabuhan Tanjung Priok terus berjalan meskipun pemerintan telah mengeluarkan aturan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) transisi secara ketat di DKI Jakarta untuk mempercepat penanganan wabah virus Covid-19. 

Pantauan CNBC Indonesia ada sekitar 55 truk yang hilir mudik mengangkut batubara ini dari kapal tongkang. 

Batubara yang diangkut truk akan dikirim ke berbagai daerah terutama ke Gunung Putri, Bogor. 

Ada 20 pekerja yang melakukan bongkar muat dan pengerjaannya selama 35 jam untuk memindahkan batubara ke truk. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Batu bara di Terminal Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kini terus menggencarkan hilirisasi batu bara, salah satunya berupa proyek gasifikasi. Proyek gasifikasi bakal menghasilkan produk dimethyl ether (DME) yang bisa digunakan untuk substitusi LPG, bensin, maupun olefin.

Muhammad Wafid, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM mengatakan potensi kebutuhan batu bara untuk proyek gasifikasi domestik guna menggantikan impor LPG, bensin, dan olefin bisa mencapai 103,3 juta ton per tahun. Jumlah tersebut di luar kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik proyeknya yang diperkirakan mencapai 38,91 juta ton.

Sementara kebutuhan metanol untuk substitusi impor LPG, bensin, dan olefin tersebut diperkirakan mencapai 52 juta ton.

"Jadi, kebutuhan batu bara untuk proses hilirisasi sebesar 103,3 juta ton dan untuk pembangkit listrik 38,91 juta ton," ungkapnya dalam sebuah webinar tentang batu bara pada Rabu (18/11/2020).

Dia mengatakan, kebutuhan tersebut dengan asumsi salah satunya yaitu akan menggantikan LPG sebanyak 5,9 juta ton per tahun. Untuk substitusi 5,9 juta ton LPG tersebut, dibutuhkan DME sebanyak 9,36 juta ton dan metanol 13,37 juta ton. Adapun kebutuhan batu bara untuk memproses gasifikasi tersebut mencapai 26,6 juta ton dan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik sebanyak 10,03 juta ton.

Sedangkan untuk mengganti 16,52 juta ton bensin, dibutuhkan metanol sebanyak 13,37 juta ton dan batu bara 26,6 juta ton, serta batu bara untuk pembangkit listriknya sebanyak 10,03 juta ton. Selebihnya, batu bara dibutuhkan untuk gasifikasi sebagai substitusi minyak (crude oil) untuk solar dan olefin.

Namun pada 2025, diperkirakan kebutuhan metanol di Indonesia baru mencapai 2,1 juta ton per tahun dengan impor mencapai 1,6 juta ton.

"Perkiraan itu dengan melihat tren 2016-2019," ujarnya.

Selain gasifikasi, ada setidaknya lima jenis hilirisasi batu bara yang bisa dikembangkan industri domestik, antara lain pembuatan briket, kokas, peningkatan mutu batu bara (coal upgrading), coal slurry/ coal water mixture (minyak bakar), dan pencairan batu bara (coal liquefaction). Gasifikasi pun tidak hanya dilakukan pada batu bara di atas permukaan, namun bisa juga pada batu bara di bawah tanah (Underground Coal Gasification/ UCG).

Adapun produk dari gasifikasi antara lain berupa DME, metanol, urea, amonia, dan hidrogen. Sementara produk UCG bisa berupa syngas. Untuk pencairan batu bara bisa menghasilkan bahan bakar minyak (BBM).


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Meneropong Nasib Proyek DME Batu Bara Kala Pandemi Kian Ganas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular