Sudah menjadi rahasia umum kalau BUMN RI terlilit dengan utang yang menggunung, baik utang dalam mata uang domestik maupun dalam mata uang asing.
Bank Indonesia (BI) mencatat, Utang Luar Negeri (ULN) BUMN tembus US$ 58 miliar per September 2020. Menggunakan asumsi kurs Rp 14.600/US$, nilai total ULN perusahaan pelat merah nasional mencapai Rp 846,8 triliun. Pangsa ULN BUMN mencapai 27,9% dari total ULN seluruh korporasi yang ada di Tanah Air.
Meskipun proporsinya di bawah 30%, tetapi pertumbuhan ULN BUMN konsisten berada dalam tren naik. Posisi ULN bulan September tumbuh dengan digit ganda dan mencatatkan kenaikan sebesar 17% (yoy).
Namun apabila dibandingkan dengan periode bulan sebelumnya yaitu bulan Agustus ULN BUMN justru mencatatkan penurunan sebesar 0,88%(mom) atau turun US$ 1,84 miliar.
Sektor perusahaan non-lembaga keuangan menjadi penyumbang terbesar ULN BUMN baik dilihat dari segi nominal maupun pertumbuhannya. Kini ULN korporasi pelat merah Tanah Air sudah hampir menyentuh 10% dari total asetnya.
ULN yang bengkak ini jelas menjadi sorotan publik dan patut diwaspadai oleh para pemangku kebijakan. Terlepas dari itu, kondisi utang BUMN semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Sejak periode pertama Presiden Jokowi, aset BUMN memang bertumbuh dengan pesat dengan laju ~11% (CAGR). Hanya saja dalam lima tahun terakhir (2015-2019), beban utangnya juga bengkak dengan laju peningkatan mencapai 17% (CAGR).
Sampai dengan tahun lalu, rasio utang terhadap keuntungan dan modal BUMN sudah lebih dari 4x. Bahkan mirisnya lagi, sebanyak 69% dari total aset BUMN dibiayai oleh utang.
Dampak utang BUMN yang tinggi semakin terasa ketika wabah Covid-19 merebak di dalam negeri dan berbuntut pada penerapan kebijakan yang restriktif terhadap mobilitas (PSBB). Konsekuensi dari kebijakan pengendalian wabah tersebut harus dibayar dengan mahal.
Anjloknya permintaan akibat pergerakan orang yang terbatas, volatilitas tinggi di pasar keuangan yang berdampak pada depresiasi tajam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membuat kondisi finansial BUMN yang sudah terlilit utang semakin menjadi tak karuan.
Penerapan PSBB memicu penurunan kebutuhan akan bahan bakar, anjloknya harga minyak, konsumsi listrik sektor komersial dan industri drop, jumlah wisatawan dan penumpang pesawat turun drastis dan banyak proyek pembangunan infrastruktur tertunda.
Hal itu berujung pada seretnya likuiditas kebanyakan BUMN terutama untuk BUMN yang sifatnya strategis seperti PLN hingga BUMN lain yang sensitif terhadap mobilitas publik seperti maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Nilai median current ratio dari enam BUMN yang paling disorot utangnya sudah mepet di angka 1. Bahkan ada yang nilai current ratio-nya di bawah 1. Ini mengindikasikan bahwa BUMN-BUMN tersebut mengalami kesulitan likuiditas untuk membiayai modal kerjanya.
Kalaupun masalahnya hanya di likuiditas, maka hal tersebut masih bisa membuat lega. Namun sayangnya beberapa BUMN bahkan mengalami permasalahan yang lebih serius ketika pandemi.
Salah satunya adalah emiten penerbangan pelat merah (GIAA). Ekuitas perusahaan bahkan sudah minus. Itu artinya investor yang membeli saham GIAA sebenarnya membeli utang.
Ada juga PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang juga terlilit utang sampai-sampai harus melakukan restrukturisasi besar-besaran dengan para krediturnya di awal tahun ini. Rasio utang terhadap modal KRAS pun menyentuh angka 6x.
Duo BUMN Karya yaitu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya TBk (WSKT) juga tak luput dari sorotan lantaran utangnya yang juga terus menggunung. Bayangkan saja rasio utang terhadap modal sudah menyentuh angka 3x dan lebih dari 70% aset dua BUMN Karya ini dibiayai oleh utang.
Tingginya beban utang (leverage) BUMN di tengah kontraksi perekonomian yang membuat kondisi keuangannya menjadi tertekan membuat lembaga pemeringkat utang domestik maupun global ramai-ramai merevisi rating dan outlook perusahaan pelat merah tersebut.
Dari 23 BUMN yang menguasai lebih dari 30% dari total aset perusahaan pelat merah, ada enam perusahaan yang ratingnya diturunkan oleh Pefindo di tahun ini. Dua dari enam perusahaan pelat merah yang turun rating antara lain dua BUMN konstruksi yaitu PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).
Penurunan rating korporasi tersebut oleh Pefindo dengan mempertimbangkan leverage-nya yang tinggi. Leverage yang tinggi terlihat dari beban utang terhadap pendapatannya (Adjusted Debt/EBITDA) yang lebih dari 10x untuk tahun ini mengacu pada laporan keuangan perseroan yang disetahunkan (annualized).
Kemudian ada BUMN yang bergerak di sektor kurir dan logistik yaitu PT Pos Indonesia (Persero) juga tak luput mendapatkan penurunan rating dari Pefindo. Tiga BUMN lain yang ratingnya diturunkan adalah PT Timah Tbk (TINS) dari sektor pertambangan, PT Jasa Marga Tbk (JSMR) dan PT Kereta Api (Persero).
Kendati rating perusahaan BUMN yang lain cenderung stabil, tetapi banyak yang outlooknya direvisi dari stabil menjadi negatif. Ada setidaknya 8 perusahaan BUMN yang outlooknya direvisi menjadi negatif tahun ini oleh Pefindo.
Lembaga pemeringkat utang global juga melakukan hal serupa dengan memangkas rating korporasi BUMN RI.
Realita pahit harus diterima oleh duo BUMN karya tersebut yang juga tingkat utangnya tergolong tinggi. Kinerja keuangan yang memburuk serta prospek ke depan yang terancam membuat lembaga pemeringkat utang global Moody's memangkas rating WIKA dan Fitch memangkas rating utang WSKT.
Moody's menurunkan rating WIKA dari Ba3 menjadi Ba2 dan menurunkan pandangankedepan perusahaan ini dari stabil menjadi negatif. Fitch Ratings memangkas peringkat surat utang jangka panjang emiten konstruksi BUMN, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dari sebelumnya A-(idn) menjadi BBB (idn).
Moody's tak hanya memangkas rating utang WIKA saja tetapi juga dua BUMN lain yaitu PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II).
Moody's juga menurunkan rating Jasa Marga dari Baa2 menjadi Baa3 dan outlook perusahaan tetap negatif. Outlook negatif yang diberikan Moody's juga dikarenakan oleh resiko kredit yang terus menghantui Jasa Marga dampak dari merebaknya virus corona.
Moody's berekspektasi terjadinya kontraksi di tingkat lalu lintas terutama di tol milik Jasa Marga akan menurunkan tingkat arus kas JSMR pada tahun 2020. Hal ini sudah tampak dari pendapatan JSMR yang turun -45,3% (yoy) pada kuartal I-2020.
Tak ketinggalan Moody's juga menurunkan rating PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dari Baa2 menjadi Baa3, akan tetapi menurut Moody's outlook perusahaan ini tetaplah stabil kedepanya.
Menurut Moody's sektor pelabuhan juga terkena efek kejut virus corona, dimana total volum kargo yang dikirim dan diterima turun karena tingkat perdagangan global juga turun akibat terkontraksinya kondisi makro ekonomi global.
Pemerintah pun tak tinggal diam melihat kondisi BUMN yang miris tersebut. Stimulus digelontorkan untuk tetap menjaga BUMN sebagai motor penggerak perekonomian domestik. Namun keterbatasan anggaran pun membuat tak semua BUMN diselamatkan oleh pemerintah.
Hanya beberapa BUMN strategis yang nasibnya ada di titik nadir serta berperan untuk menjadi motor penggerak perekonomian. Jika mengacu pada Peraturan Menteri BUMN Nomor 8 tahun 2020 setidaknya ada lebih dari 10 BUMN yang bakal diberi suntikan dana PEN oleh pemerintah dengan berbagai skema.
Untuk beberapa BUMN strategis yang memiliki piutang dari pemerintah, maka akan disuntik dana dengan skema pencairan hutang pemerintah ke BUMN. Total anggarannya mencapai Rp 113.48 triliun.
Dua BUMN strategis yang bakal mendapat dana ini dalam jumlah yang besar adalah PLN dengan nilai Rp 48,46 triliun dan Pertamina senilai Rp 45 triliun. Tak ketinggalan BUMN konstruksi sebagai motor penggerak proyek strategis nasional (PSN) juga bakal mendapat suntikan senilai Rp 12,16 triliun.
Kemudian ada sebanyak 7 BUMN yang bakal mendapatkan suntikan dana dalam bentuk penanaman modal negara (PMN). Beberapa BUMN tersebut adalah Hutama Karya, Bahana, PNM, PTPN, PT KAI, Perumnas dan ITDC. Total dana yang dianggarkan mencapai Rp 23,65 triliun.
Sementara itu ada dua BUMN yang terlilit utang yang besar yaitu Garuda Indonesia (GIAA) dan Krakatau Steel (KRAS) yang bakal mendapat suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp 11,5 triliun dalam bentuk pinjaman convertible bonds.
Artinya dua emiten ini nantinya harus menerbitkan obligasi wajib konversi ke saham kepada pemerintah melalui private placement atau Penanaman Modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD).
Sehingga secara total dana suntikan pemerintah untuk BUMN mencapai Rp 148,63 triliun.
Dari dana untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dianggarkan sebesar Rp 677,2 triliun, ongkos penyelamatan BUMN saja sudah mencapai 22% sendiri. Ini hanya menghitung dari nominal stimulusnya saja belum dihitung dari ongkos yang sifatnya kontribusi BUMN ke pendapatan negara seperti pajak dan dividen lho.
Memang BUMN punya andil besar terhadap aktivitas perekonomian terutama dalam hal serapan tenaga kerja. Namun bayangkan saja jika BUMN-BUMN Tanah Air ini sehat dengan rasio utang yang tidak membengkak maka tidak akan memberatkan anggaran pemerintah.
Sudah seharusnya BUMN menjadi tulang punggung perekonomian, bukan beban. Ini menjadi PR besar menteri BUMN Erick Thohir untuk membenahi kinerja dan tata kelola BUMN yang lebih efisien dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), profesional, dan terbebas dari KKN maupun kepentingan politik praktis.
Sayangkan kalau BUMN kelihatannya garang tapi nyatanya keropos. Sayang juga kan kalau BUMN bukan jadi mesin pencetak uang tapi malah pencetak utang.
TIM RISET CNBC INDONESIA