Soeharto Hingga FPI, Ini Cerita Berliku RUU Minuman Alkohol?

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
14 November 2020 19:59
Display minuman beralkohol di Super Market
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini, RUU Minuman Beralkohol (Minol) sedang dibahas oleh Badan Legislatif DPR, setelah sebelumnya pernah dibahas pada periode DPR 2014-2019.

Lantas mengapa kini muncul kembali RUU Minuman Beralkohol alias RUU Minol?

Cerita RUU Minol bermula saat FPI mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) pada 2013. FPI menggugat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3/1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol.

Keppres tersebut ditandatangani Presiden Soeharto pada 12 Februari 1997. Dalam Keppres itu disebutkan, peredaran miras/minuman keras kategori B dan C (lebih dari 5 persen alkoholnya) hanya di hotel, restoran, bar dan tempat tertentu. Keppres ini menjadikan DPRD tidak bisa membuat Perda antimiras.

Hasilnya, permohonan FPI dikabulkan. Pada 18 Juni 2013, MA menyatakan Keppres bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu bertentangan dengan UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 7/1996 tentang Pangan. Perkara yang diadili oleh Dr Supandi, Dr Hary Djatmiko dan Yulius.

"Keppres itu juga tidak dapat mewujudkan ketertiban kehidupan masyarakat Indonesia," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur kala itu, seperti dikutip dari detikcom.

Setelah itu, Indonesia memiliki kekosongan hukum soal taat niaga minuman beralkohol. Satu-satu payung hukumnya adalah Perda yang mengatur isu terkait.

Untuk membuat payung hukumnya, dalam Prolegnas 2014-2015, muncul RUU untuk mengatur tata niaga minuman beralkohol. Nama RUU-nya RUU Larangan Minuman Beralkohol. Dari penamaan, RUU ini sudah menuai kritik.

Memasuki masa kampanye 2019, isu RUU Minol mereda. Muncul isu RUU KUHP, RUU KPK hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Akhirnya, DPR periode 2014-2019 tidak menghasilkan apa pun soal RUU Minuman Beralkohol. Kini RUU Minol kembali hangat belakangan ini.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus, menyatakan khawatir jika RUU itu sampai lolos. "Saya sih ada kekhawatiran, jadi jangan sampai kelolosan. Tiba-tiba keluar larangan alkohol. Itu nggak benar lah," ujarnya seperti dikutip dari BBC.

"Kita nggak pengin disahkan. Kalau disahkan sama saja membunuh pariwisata Indonesia," kata Stefanus.

Stefanus berpendapat minuman beralkohol memang perlu diatur dan diawasi, misalnya mengenai usia orang yang diizinkan mengkonsumsi, tapi tidak dilarang.

Di sisi lain, Felippa Amanta, peneliti lembaga the Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mempertanyakan urgensi DPR membahas RUU itu. Merujuk data WHO, Felippa mengatakan Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi alkohol paling sedikit di dunia.

"Menurut kami, RUU ini sama sekali tidak ada urgensinya karena angka konsumsi alkohol di Indonesia sangat rendah, salah satu terendah di dunia.

"Berdasarkan data WHO, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia konsumsinya sekitar 0,8 liter per kapita. Kalau kita bandingkan dengan Asia Tenggara, yang angkanya 3,4 liter per kapita," kita juga masih jauh lebih rendah.

Dari data yang sama itu, Felippa menjelaskan sebagian besar konsumsi alkohol di Indonesia itu unrecorded (tidak tercatat) atau tak legal. Ia menambahkan alih-alih melarang, pemerintah lebih baik mengatur dan mengawasi distribusi minuman keras.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Soal RUU Minuman Alkohol, Gubernur Bali: Nggak Akan Jadi Itu!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular