Ritel RI Mulai PHK Massal, di AS Sudah Banyak yang Bangkrut!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 November 2020 18:15
Suasana pusat perbelanjaan di ITC Mangga Dua yang sangat sepi pembeli, puluhan toko ditutup karena minimnya jual beli masyarakat ditengah pandemi, Jumat (6/11/2020). Salah satu pemilik toko menyebutkan untuk menyewa toko dalam setahun sebesar Rp. 50juta harga itu diluar tarif listrik dan kebersihan. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Suasana pusat perbelanjaan di ITC Mangga Dua yang sangat sepi pembeli, puluhan toko ditutup karena minimnya jual beli masyarakat ditengah pandemi, Jumat (6/11/2020). Salah satu pemilik toko menyebutkan untuk menyewa toko dalam setahun sebesar Rp. 50juta harga itu diluar tarif listrik dan kebersihan. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ritel di dalam negeri sedang berdarah-darah di tengah pandemi Covid-19. Penjualan yang anjlok signifikan membuat keuangan para peritel nasional tertekan sehingga opsi pahit yang diambil adalah mengakhiri nasib para karyawannya. 

Bank Indonesia (BI) melalui Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan setiap bulan melaporkan penjualan ritel bulan September mengalami kontraksi 8,73% (yoy). Semakin membaik dibanding bulan sebelumnya yang mencapai minus 9,19% (yoy).

Wabah Covid-19 pertama kali melanda RI pada bulan Maret. Sebulan kemudian DKI Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia lain menerapkan PSBB. Para peritel pun dibuat pusing bukan kepalang. Penjualan langsung drop dobel digit. 

Kontraksi paling parah tercatat di bulan Mei. Kala itu penjualan ritel hampir untuk seluruh kategori mencapai titik terendahnya dalam tiga tahun terakhir. Seiring dengan pelonggaran yang dilakukan pada bulan Juni, penjualan mulai merangkak naik. Namun tetap saja jauh dari kata pulih ke level pra-pendemi.

Bahkan jika melihat tren mobilitas masyarakat yang dilaporkan oleh Google, orang-orang masih lebih banyak berada di rumah. Mereka masih menjauhi lokasi dan kerumunan orang seperti taman, pusat perbelanjaan hingga tempat rekreasi.

Masyarakat yang masih enggan untuk berbelanja dan berkunjung ke mall membuat para peritel terutama fesyen menjadi yang paling babak belur, mengingat dagangannya bukan termasuk kebutuhan yang mendesak seperti makanan maupun obat-obatan saat pandemi.

Peritel fesyen kenamaan Tanah Air bahkan sampai memutus hubungan dengan karyawannya. Sebut saja Sogo, Seibu hingga Galeries Lafayette yang berada di bawah bendera MAP Group. 

Di Sogo saja ada 300 orang yang dilaporkan terkena PHK. Sebanyak 2.500 orang harus menderita karena gajinya dipotong. Sebagai alternatif ada juga peritel yang memilih untuk merumahkan karyawannya.

Peritel fashion pemegang brand Manzone, MOC, Men's Top, Nike, PT Mega Perintis Tbk. Per Desember 2019, jumlah karyawan baik tetap maupun tidak tetap mencapai 3.283 orang, sementara saat ini jumlah karyawan tetap dan tidak tetap menjadi 1.005 atau berkurang 2.278 orang.

Saking sepinya dagangan, para peritel lain bahkan sampai menutup gerainya. Matahari Department Store disebut bakal menutup 10 gerai terutama untuk gerai dengan format besar dan hanya akan mengoperasikan 150 gerai saja sampai dengan akhir tahun. 

Aksi penutupan gerai juga dilakukan oleh emiten ritel PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Sebanyak 13 gerai ditutup sementara karena penurunan penjualan akibat pandemi Covid-19. Aksi ini dilakukan sejak akhir Maret 2020 lalu.

Itu baru peritel-peritel besar yang tercatat. Masih ada banyak peritel lain yang juga kehilangan sejumlah besar omzetnya akibat pembatasan mobilitas publik di berbagai wilayah.

Fenomena bisnis ritel yang babak belur tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga dijumpai di berbagai negara lain, terutama untuk negara-negara yang menerapkan penguncian alias lockdown. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu contohnya.

Nama-nama besar peritel AS seperti J.C. Penney Co Inc, Pier 1 Imports Inc, Century 21 Department Stores LLC dan masih banyak peritel AS lain juga mengajukan kebangkrutan. 

Data S&P Global Market Intelligence menunjukkan, jumlah peritel di AS yang mengajukan kebangkrutan sepanjang 2020 sebanyak 46 dan menjadi level tertinggi dalam satu dekade terakhir. 

Aksi penutupan gerai juga membuat sektor bisnis ritel AS kehilangan banyak dari para pekerjanya. Penurunan terdalam jumlah tenaga kerja sektor ritel di AS terjadi di bulan April ketika sebagian besar negara bagian AS berada dalam penguncian. 

Saat itu jumlah tenaga kerja di sektor ini drop 2,1 juta menjadi 13,5 juta pekerja. Namun seiring dengan diberlakukannya relaksasi dan penjualan ritel di AS mulai membaik, tenaga kerja di sektor ini mulai bertambah. 

Sampai dengan bulan September tahun ini, jumlah pekerja di sektor bisnis eceran AS sudah mencapai 15,2 juta orang. Kendati terus meningkat sejak Mei, tetapi belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19.

Sebenarnya maraknya PHK secara global tidak hanya terjadi di sektor ritel saja. Kenaikan angka pengangguran juga disumbang oleh berbagai sektor lain. Pandemi Covid-19 yang berlangsung kurang dari satu tahun menjadi pukulan telak untuk sektor ketenagakerjaan global. 

Angka pengangguran yang berhasil diturunkan dalam waktu lama dan bertahun-tahun harus disapu bersih dalam hitungan bulan. Butuh waktu yang lama untuk membangkitkan kembali ketenagakerjaan global yang kini sedang terkontraksi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular