Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk kali pertama sejak 1999, ekonomi Indonesia yang terkenal dengan pertumbuhan impresif khas emerging market jatuh juga ke jurang resesi. Kecepatan merebaknya wabah Covid-19 di dalam negeri membuat pemerintah memutuskan untuk mengerem jalannya roda perekonomian dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dampaknya sangat signifikan. Output perekonomian nasional mengalami kontraksi dua kuartal berturut-turut yang mengindikasikan bahwa Indonesia sah resesi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal kedua terkontraksi 5,32% (year on year/yoy). Kontraksi berlanjut hingga kuartal ketiga meski tak sebesar di periode April-Juni dengan penyusutan sebesar 3,49% (yoy).
Angka minus mengindikasikan bahwa perekonomian Ibu Pertiwi sedang tidak baik-baik saja. Namun kontraksi yang lebih rendah mengindikasikan bahwa ada perbaikan dari sisi ekonomi seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas publik serta adanya bantuan dari pemerintah.
Konsumsi rumah tangga, investasi, hingga aktivitas perdagangan masih mengalami kontraksi pada kuartal ketiga apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Satu-satunya pos PDB menurut pengeluaran yang masih tumbuh adalah konsumsi pemerintah. Pos ini dapat tumbuh 9,76% (yoy) ketika konsumsi domestik turun 4,04% (yoy), pembentukan modal tetap bruto (PMTB) anjlok 6,48% (yoy), ekspor drop 10,82% (yoy) dan impor anjlok 21,86% (yoy)
Belanja pemerintah memang seharusnya menjadi motor penggerak perekonomian ketika daya beli masyarakat tergerus, permintaan global melemah sehingga ekspor anjlok, perusahaan menunda rencana ekspansi dan menggunakan kapasitas operasi yang lebih rendah sehingga berakibat pada kontraksi impor dan realisasi investasi.
Berdasarkan laporan APBN Kinerja dan Fakta sampai bulan September 2020, total belanja pemerintah pusat berdasarkan Perpres nomor 72 tahun 2020 sebesar Rp 1.211,4 triliun atau 61,3% dari target dan tumbuh 21,2% (yoy).
Belanja untuk bantuan sosial melonjak 79,8% (yoy) senilai Rp 156,3 triliun yang sebagian besar dialokasikan untuk masyarakat terdampak pandemi melalui berbagai program pemerintah seperti penyaluran bantuan PKH, penyaluran bantuan program Kartu Sembako, penyaluran bantuan paket sembako Jabodetabek, penyaluran bantuan sosial tunai non-Jabodetabek, penyaluran bansos beras bagi KPM PKH, penyaluran bantuan sosial tunai (BST) bagi penerima bantuan Sembako non PKH.
Stimulus tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk menciptakan demand yang selama ini lesu. Tak luput pemerintah juga memberikan serangkaian stimulus fiskal bagi pelaku usaha baik UMKM maupun korporasi.
Kebijakan fiskal yang ekspansif ini membuat defisit anggaran pun jebol. Per September 2020, defisit APBN berada di angka -4% dari PDB dan target untuk tahun ini berada di minus 6,4% PDB.
Melalui mekanisme burden sharing pun Bank Indonesia selaku otoritas moneter ikut membantu menambal defisit fiskal tersebut dengan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan public goods.
BI juga telah memangkas suku bunga acuan 100 basis poin sepanjang tahun ini, Rasio GWM pun juga ikut diturunkan selain mekanisme burden sharing untuk membantu menahan perekonomian dari kejatuhan yang lebih dalam dan mempersiapkan ekonomi untuk bangkit lebih cepat ketika pandemi usai.
Tahun 2020 tinggal satu kuartal lagi. Sekarang sudah menginjak November, artinya satu bulan kuartal keempat telah berlalu. Lantas seperti apa rona perekonomian di kuartal empat nanti? Apakah akan lebih baik? Masihkah terkontraksi atau sudah berada di jalur positif?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentulah muncul di benak setiap orang. Untuk menjawabnya ada banyak faktor yang perlu dicermati baik itu merupakan faktor internal maupun eksternal.
Dari sisi faktor eksternal, sentimen cenderung memburuk. Pertama datang dari perkembangan pandemi Covid-19. Seiring dengan masuknya musim dingin, lonjakan kasus infeksi wabah mematikan tersebut terjadi lagi terutama di Amerika Utara dan Eropa.
Beberapa negara Eropa seperti Prancis bahkan kembali menerapkan lockdown nasional. Pengetatan pembatasan juga diikuti oleh negara lain seperti Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Norwegia hingga Hungaria.
Apabila lockdown yang masif semakin meluas tentu saja ini akan menjadi downside risk bagi perekonomian nasional. Tulang punggung Indonesia memang bukan di ekspor tetapi ekonomi yang masih bergantung pada komoditas membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga di pasar komoditas.
Di sisi lain, pemilihan presiden Paman Sam juga menambah risiko ketidakpastian. Joe Biden saat ini masih diunggulkan dengan perolehan suara electoral mencapai 264 suara dan kurang 6 suara lagi untuk menang.
Namun intrik, drama serta dinamika kontestasi politik Negeri Paman Sam serta sikap temperamental petahana yang juga mencalonkan diri lagi membuat pemilu AS kali ini agaknya sulit untuk diputuskan pemenangnya dalam waktu segera.
Jelas ini akan mempengaruhi banyak hal terutama kebijakan AS di kancah perekonomian dan perpolitikan global. Nasib AS dan perekonomian dunia tak bisa dipungkiri berada di tangan mereka.
Sementara dari dalam negeri pandemi Covid-19 masih menjadi risiko utama bagi perekonomian, Apabila dilihat tren kasus belakangan ini tampaj ada penurunan. Namun jika dilihat dari sisi jumlah tes yang dilakukan juga menurun.
Penurunan ini juga bertepatan dengan libur panjang dan cuti bersama pekan lalu. Banyak pihak yang memutuskan untuk berlibur. Tanpa adanya contact tracing yang komprehensif dan tes yang mencukupi maka Indonesia tidak akan benar-benar tahu apakah puncak gelombang pertama sudah selesai atau belum.
Sedihnya lagi penanganan pandemi juga tak akan berjalan dengan optimal tanpa data yang valid dan reliable.
Pemerintah memperkirakan ekonomi pada kuartal keempat masih akan tetap berada di teritori negatif dengan kisaran -1,6% hingga -0,6%.
Sejauh ini memang masih banyak faktor risiko yang menghambat pemulihan ekonomi bisa berjalan dengan cepat. Apabila terjadi peningkatan kasus Covid-19 yang signifikan dan pemerintah kembali menarik kebijakan rem darurat maka kontraksi perekonomian bisa lebih besar dari perkiraan pemerintah.
Menurut laporan Mandiri Institute yang terbaru dalam publikasi harian bertajuk macro brief, apabila kasus pemerintah kembali mengetatkan PSBB maka kontraksi perekonomian di kuartal keempat masih akan berada di kisaran angka kontraksi kuartal ketiga.
Sementara menurut riset ekonom Mirae Asset Sekuritas Anthony Kevin, pada kuartal terakhir tahun ini ekonomi Indonesia diramal bakal terkontraksi sebesar 1,75% (yoy). Besaran kontraksi PDB di kuartal keempat akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dalam mengelola kesehatan dan perekonomian.
Apabila berkaca pada periode dua kuartal terakhir, pertumbuhan PDB nasional selalu lebih rendah dari proyeksi para ekonom yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Bahkan pada kuartal ketiga ketika belanja pemerintah agresif pun masih membuat kontraksi lebih dari angka 3% di bawah harapan pemerintah.
Untuk saat ini dengan berbagai risiko yang ada downside risk cenderung lebih terlihat dengan kondisi global yang kembali memburuk terutama berpotensi menekan perekonomian nasional lebih jauh.
Agar kontraksi pada kuartal keempat bisa dipersempit lagi pemerintah harus mampu mengambil kebijakan yang jauh lebih efektif di sektor kesehatan masyarakat maupun perekonomian. Pemerintah harus lebih agresif lagi membelanjakan anggarannya.
Sementara itu ruang untuk penurunan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) yang lebih rendah juga masih terbuka lebar jika melihat berbagai indikator terutama lemahnya inflasi dan inflasi inti, dolar AS yang tertekan hebat sepanjang pemilu AS, kebijakan moneter AS yang ultra akomodatif dan penyaluran kredit yang tumbuh sangat lambat.
TIM RISET CNBC INDONESIA