
(Mungkin Saja) China & Dunia Happy Jika Trump Keok di Pilpres

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat (AS) sudah pasti menjadi perhatian pelaku pasar di berbagai dunia.
Siapa yang akan menjadi orang nomor 1 di Negeri Adikuasa tersebut akan mempengaruhi segala macam kebijakan yang diambil pemerintah AS.
Kebijakan tersebut sudah pasti tidak hanya berdampak di negaranya, tetapi bisa berdampak secara global, khususnya di pasar finansial.
Pasar finansial Indonesia tentu saja juga terkena dampaknya, reaksi pasar terhadap siapa yang memenangi pilpres kali ini tentu saja akan berbeda.
Pilpres kali ini mempertemukan antara petahana dari Partai Republik, Donald Trump, dan penantangnya dari Partai Demokrat, Joseph 'Joe' Biden, yang juga merupakan mantan wakil presiden era Presiden Barrack Obama 2009-2017.
![]() Foto: AP/Morry Gash Democratic presidential candidate former Vice President Joe Biden answers a question as President Donald Trump listens during the second and final presidential debate Thursday, Oct. 22, 2020, at Belmont University in Nashville, Tenn. (AP Photo/Morry Gash, Pool) |
Halaman Selanjutnya >> Jika Trump Menang Lagi
Seandainya Trump kembali memenangi pemilu kali ini, tentunya tidak akan ada perubahan signifikan dari kebijakan yang diterapkan saat ini. Perang dagang dengan China misalnya, masih akan tetap berkobar. Kemudian, dari segi perpajakan tentunya tidak akan berubah, setelah dipangkas pada periode pemerintahannya saat ini.
Memang setiap manuver Trump sejak kemenangannya di tahun 2016 selalu membuat seluruh pelaku pasar keuangan global kerepotan. Kemenangannya atas Hillary Clinton pada Oktober 2016 memicu outflows dari pasar SBN dan Saham, dan Rupiah pun melemah cukup tajam.
Gebrakan pertama yang membuat pasar saham global mengalami "sell-off" dan menekan seluruh mata uang negara berkembang adalah keputusannya di April 2018 yang mengobarkan perang dagang dengan China.
Perang dagang AS-China yang meluas ke konflik diplomatik antara dua raksasa dunia dan bahkan masih berlangsung hingga kini tersebut telah membuat pasar saham dunia bergejolak, memicu pelarian modal dari negara berkembang dan tekanan ke mata uang dunia karena aksi "flight to quality" ke asset yang dipandang safe haven seperti US Treasury Bond.
Halaman Selanjutnya >> Bagaimana Jika Biden?
Dengan hasil poling yang mengindikasikan Biden akan memenangkan pemilu dalam sepekan terakhir, telah meningkatkan eforia di pasar keuangan global.
Lalu bagaimana dengan dampaknya ke pasar keuangan Indonesia bila Biden memenangkan pemilu.
"Sudah sewajarnya bila pasar keuangan global menyambut positif terhadap presiden AS yang akan lebih memberikan ketenangan kepada investor, bukan malah membuat jittery," ujar Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Selasa (3/11/2020).
Menurutnya, selama tahun 2018 dan 2019 perang dagang antara AS dan China yang berkepanjangan telah membuat Rupiah tertekan berkepanjangan. Bank Indonesia pun harus melakukan stabilisasi kurs secara intens.
Lanjut Nanang, hasil polling pemilu AS dengan indikasi kemenangan Biden telah mendorong kurs NDF turun tajam dari Rp 14.800 per Dolar AS akhir pekan lalu ke posisi pembukaan pasar hari ini di Rp 14.660 per US$.
Sejumlah bank di pembukaan pasar hari ini juga banyak yang bahkan membuka posisi short dollar dan memberikan kuotasi langsung di bawah Rp 14.600.
"Bila presiden AS terpilih nanti kebijakan dan keputusan lebih "predictable" dan tidak "provocative" seharusnya akan mendorong aksi "flight From quality" dari aset yang dipandang aman seperti US Treasury Bond dan Emas, serta disertai pelemahan dollar AS atau penguatan mata uang Emerging Market. Dan indikasi ini sudah mulai terlihat dari turunnya kurs NDF di pasar offshore," imbuhnya.
Meski demikian, kewaspadaan dinilai tetap harus tinggi, karena proses pemilu AS belum selesai dan bisa saja muncul ketidakpastian baru bila salah satu calon saling meng-claim kemenangan.
"Apapun hasilnya, pastinya Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk mengawal kestabilan Rupiah," jelasnya.
Melansir data Refinitiv, di tahun 2018 saat perang dagang berkobar, rupiah mengalami pelemahan sekitar 6% melawan dolar AS di Rp 14.375/US$. Bahkan, pada Oktober 2018, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.230/US$ atau melemah lebih dari 12% secara year-to-date (YtD).
Halaman Selanjutnya >> Posisi China?
Menjelang pemilihan presiden AS, orang-orang China lebih memperhatikan topik urusan dalam negeri daripada pemilihan AS, dan kebanyakan dari mereka memperlakukan pemilihan AS sebagai "pertunjukan."
Rakyat China dan pemerintah percaya bahwa tidak peduli siapa yang menjadi presiden AS berikutnya, China akan fokus pada perkembangannya sendiri, dan tidak akan menaruh harapan besar pada Donald Trump atau Joe Biden untuk memperbaiki hubungan bilateral. Hal ini disampaikan seorang analis di China yang dikutip dari Global Times milik Peoples Daily.
Pakar China yang berfokus pada AS lebih memperhatikan daripada publik China sendiri. Sebagian besar ahli mengatakan mereka menyaksikan pemilihan dengan tenang dan percaya diri tanpa preferensi yang jelas, karena mereka percaya perkembangan dan masa depan China tidak bergantung pada presiden AS berikutnya, tetapi pada upaya yang dilakukan oleh rakyat China dan pemerintah.
Tetapi para ahli China memperingatkan bahwa karena hubungan AS-China yang intens, China harus memperhatikan potensi "krisis konstitusional" setelah pemilihan presiden AS, dan jika terjadi konflik domestik yang tidak terkendali di AS, presiden saat ini mungkin menggunakan masalah eksternal untuk mengalihkan perhatian dari kekacauan internal, dan hubungan China-AS bisa terancam.
(dru) Next Article Ini Jadwal Pilpres Amerika Serikat dan Perkiraan Hasilnya