Upah di UU Cipta Kerja, Buruh Untung atau Buntung Ya?

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
03 November 2020 13:42
Keterangan Pers Presiden RI, Jokowi Istana Merdeka, 31 Oktober 2020. (Youtube/Sekretariat Presiden)
Foto: Keterangan Pers Presiden RI, Jokowi Istana Merdeka, 31 Oktober 2020. (Youtube/Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya resmi meneken Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada awal pekan ini, kendati payung hukum tersebut menimbulkan protes keras dari sejumlah elemen buruh.

Salah satu keluhan para buruh, mereka menilai keberadaan aturan tersebut akan mengembalikan pekerja Indonesia ke rezim upah murah. Lantas, seperti apa fakta yang sebenarnya?

Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia dalam UU Cipta Kerja, terdapat sejumlah perbedaan penghitungan upah. Selama ini, penghitungan upah mengacu pada PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan.

Dalam UU Cipta Kerja, formula penghitungan upah minimum pekerja akan dihitung berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi, sesuai pasal 88D UU Cipta Kerja yang diteken Jokowi.

Namun, beleid aturan tersebut tidak secara merinci terkait hal itu karena formula penghitungan upah minimum provinsi (UMP) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang akan menggantikan PP 78. Saat ini draf PP ini masih dalam proses pembahasan di pemerintah, buruh, dan dunia usaha.

UU Cipta Kerja juga memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menetapkan UMP dengan syarat yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah serta inflasi pada daerah yang bersangkutan.

Dalam UU Ketenagakerjaan, gubernur memang tetap ditunjuk sebagai eksekutor penetapan upah minimum. Namun, penghitungannya disesuaikan dengan capaian kebutuhan kehidupan layak dan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi.

Adapun Dewan Pengupahan dalam UU Cipta Kerja akan tetap ada untuk memberikan saran maupun pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan.

Alasan Soal Upah Murah dari Buruh

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Penggunaan frasa "dapat" dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. JIka hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun.

Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka. Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.

Dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan Baru, Kerja Lembur Ditambah & Ada yang Tak Dibayar!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular