Defisit & Utang RI Naik Sih, Tapi Lihat Negara Lain Dong!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 October 2020 14:08
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konfrensi Pers APBN KiTa ( Tangkapan Layar Youtube Ministry of Finance Republic of Indonesia)
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konfrensi Pers APBN KiTa ( Tangkapan Layar Youtube Ministry of Finance Republic of Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 menjadi periode yang sangat berat bagi seluruh umat manusia di dunia akibat merebaknya pandemi Covid-19. Ekonomi global runtuh, tak terkecuali Indonesia. Pendapatan pajak anjlok, belanja pemerintah meningkat, defisit anggaran membengkak, utang pun meningkat.

Dalam pemaparan APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) edisi Oktober 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan penerimaan negara sampai dengan bulan lalu tercatat sebesar Rp 1.159,9 triliun atau 68% dari target Perpres No 72/2020. Anjlok 13,7% dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Mayoritas pendapatan negara Indonesia ditopang oleh penerimaan perpajakan. Namun di kala pandemi ketika roda perekonomian seperti terkunci dan jalannya melambat bahkan hampir terhenti setoran pajak jelas melambat.

Penerimaan perpajakan yang terdiri dari pendapatan pajak dan cukai anjlok 14% (YoY). Penerimaan pajak turun 16,9% sementara penerimaan dari cukai masih mampu tumbuh 3,8% (yoy).

Turunnya penjualan akibat lesunya daya beli masyarakat akibat Covid-19 membuat kinerja keuangan korporasi dan sektor usaha mengalami tekanan yang hebat. Akhirnya setoran pajak di seluruh pos pun anjlok signifikan.

Setoran Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) mencatatkan kontraksi yang paling dalam sebesar 45,3% (YoY) sampai dengan kuartal ketiga. Harga minyak yang terpangkas dengan sangat tajam disertai dengan aktivitas di sektor hulu migas yang terhambat menjadi faktor pemicunya.

Sementara itu untuk penerimaan pajak non-migas yang sumbangsihnya paling besar terhadap penerimaan pajak mengalami kontraksi 15,4% (YoY) sampai September lalu.

Dari pos pajak non-migas, PPh non-migas serta PPN dan PPnBM mengalami kontraksi yang dalam. Keduanya anjlok masing-masing 16,9% (YoY) dan 13,6% (YoY) dibanding tahun lalu. Daya beli masyarakat yang lemah dan tercermin dari perlambatan inflasi bahkan deflasi dalam satu kuartal terakhir sudah menjadi bukti nyata yang kuat.

Pos pendapatan negara yang lain yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami kontraksi dobel digit. Hanya pos hibah saja yang mencatatkan kenaikan signifikan. Namun sumbangan pos ini terhadap pendapatan negara termasuk kecil karena kurang dari 1%.

Di saat penerimaan negara baik dari pajak maupun non-pajak mengalami penurunan signifikan, belanja pemerintah justru meningkat. Pandemi Covid-19 membuat pos pembentuk PDB yang lain seperti konsumsi domestik, pembentukan modal tetap bruto dari investasi hingga perdagangan internasional ekspor-impor tak bisa diharapkan.

Untuk meredam kejatuhan perekonomian, maka instrumen belanja negara digunakan untuk memberikan stimulus agar perekonomian mau berdenyut kembali. APBN menjadi satu-satunya instrumen yang bisa digunakan untuk menstimulasi ekonomi. Itulah mengapa belanja pemerintah membengkak.

Sampai dengan September 2020, belanja negara tercatat mencapai Rp 1.841 triliun, meningkat 16% (YoY) dibanding tahun lalu dan mencapai 67% terhadap Perpres No 72/2020.

Pemerintah terus menggenjot belanja negara untuk semua pos. Menurut paparan Kementerian Keuangan, belanja pemerintah pusat dilaporkan meningkat 22% (YoY). Kenaikan belanja pemerintah pusat dipicu oleh naiknya belanja kementerian dan lembaga (K/L) untuk berbagai bantuan sosial melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Bantuan sosial tersebut dialokasikan pemerintah untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah serta bantuan sementara lainnya.

Bengkaknya belanja pemerintah yang dibarengi dengan penurunan pendapatan membuat APBN mencatatkan defisit sebesar Rp 682 triliun atau setara dengan 4,16% dari PDB.

Angka keseimbangan primer yang mencerminkan selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang mencapai Rp 447,3 triliun. Target pembiayaan pemerintah tahun ini pun hampir tiga kali lebih besar dari APBN tahun lalu.

Untuk tahun ini defisit anggaran diperkirakan bakal menyentuh level 6,3% terhadap PDB, jauh melebar dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 2,3% PDB. Namun pelebaran defisit fiskal merupakan tema global tahun ini.

Masih banyak negara-negara lain yang defisitnya juga membengkak bahkan jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Sebut saja Amerika Serikat (AS). Sebagai negara adidaya defisit anggaran untuk tahun ini diperkirakan mencapai 18,7% PDB. Ini menjadi defisit anggaran terparah sejak Perang Dunia II.

Pelebaran defisit anggaran juga dirasakan oleh negara-negara berkembang seperti halnya China dan India. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Filipina juga merasakan hal yang sama untuk tahun ini.

Konsekuensi yang harus diderita dari sebuah realitas besar pasak dari pada tiang adalah utang yang membengkak. Lagi-lagi bengkaknya utang juga tidak hanya terjadi di Indonesia. Utang yang menggunung juga jadi tema besar tahun ini akibat pandemi Covid-19.

Kenaikan utang dipicu oleh kebijakan fiskal pemerintah global yang ekspansif guna menahan penurunan perekonomian lebih lanjut. Defisit dari anggaran yang ada harus ditambal dengan utang.

Selain itu era suku bunga murah melalui kebijakan moneter ultra longgar bank sentral global juga menstimulasi perekonomian dengan cara menambah utang. Ini semua terjadi di hampir setiap negara di dunia.

Rasio utang terhadap PDB berbagai negara pun kian bengkak. Proyeksi rasio utang terhadap PDB Indonesia untuk tahun ini berada di angka 38,5% atau naik 8,5 poin persentase dibanding tahun sebelumnya.

Kenaikan rasio utang Indonesia ini masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya yang mencapai dobel digit dan kenaikan rasio utang masih menjadi yang lebih rendah dibandingkan dengan Filipina, Malaysia, Thailand, China dan India yang juga merupakan negara berkembang.

Bagaimanapun juga adanya pandemi Covid-19 memang membuat pemerintah maupun bank sentral menggunakan segala daya upaya untuk menahan perekonomian dari kejatuhan lebih lanjut dan menstimulasinya agar pulih cepat.

Artinya tema kebijakan terutama fiskal dan moneter untuk tahun ini baik bagi Indonesia maupun global adalah kebijakan whatever it takes!

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular