Restoran, Ritel, Mal Berdarah-Darah: Nekat Ambil Jalan Pintas

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
19 October 2020 08:17
mal
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor ritel, restoran, hingga pengelola mal menghadapi tekanan yang berat dari penerapan PSBB yang sudah berjalan hampir 8 bulan terutama di DKI Jakarta. Umumnya kondisi bisnis dan keuangan mereka sedang tidak baik-baik saja.

Sektor ritel misalnya harus memutar otak untuk tetap bertahan sampai mengambil jalan pintas seperti PHK para pekerja kontrak. Selain itu, restoran hampir separuhya berencana menutup permanen gerainya di pusat-pusat belanja. Sedangkan pihak pengelola mal sendiri, mau tak mau melakukan langkah diskon sampai bebaskan tarif sewa bagi para tenant.

Berikut ini kondisi para pelaku usaha di lingkungan pusat belanja atau mal selama pandemi covid-19 yang sudah hampir berlangsung 8 bulan.

Pelaku usaha di pusat belanja yang berdarah-darah tak hanya restoran tapi juga pelaku usaha ritel. Untuk bertahan, mereka ada yang memilih jualan online sampai harus mengambil langkah terakhir mem-PHK terutama karyawan kontrak.

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Fernando Repi ada langkah-langkah yang membuat ritel dapat bertahan di tengah wabah Covid-19. Sektor mal dan ritel di dalamnya kena imbas Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah termasuk Jakarta.

"Untuk mengatasi operasional yang kami keluarkan ada beberapa yang dilakukan khususnya mereka yang di pusat perbelanjaan. Misalnya mengurangi biaya sewa, mengurangi jam lembur, untuk di gerai," ujar Fernando Repi kepada CNBC Indonesia.

Dia mengatakan bahwa untuk non gerai akan diatur dari segi marketing dan mulai mengandalkan platform digital baik dari Facebook, Instagram dan sebagainya. Selain itu langkah pengurangan karyawan kontrak dan inisiatif pengurangan biaya lainnya seperti listrik dan kebijakan lainnya juga harus ditempuh.

Meski merugikan, hal tersebut dilakukan agar ritel tetap bisa bertahan. "Iya ini hanya untuk menyelamatkan peritel agar bisa bertahan," katanya.

Sebagai pelaku usaha yang terdampak parah pandemi, pengusaha ritel dan mal berharap vaksin Covid-19 bisa segera ditemukan dan dilakukan vaksinasi. Cara ini diharapkan bisa segera terjadi pemulihan ekonomi dan bisnis.

Bisnis mal di DKI Jakarta benar-benar berdarah-darah pandemi Covid-19. Segala pembatasan saat pengendalian pandemi membuat bisnis makin terpuruk. Pengunjung sepi, membuat para tenant kena dampak, ujung-ujungnya ada persoalan dengan biaya sewa, akhirnya ada pengelola yang membebaskan biaya sewa sementara.
Ketua Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia DPD DKI Jakarta Ellen Hidayat blak-blakan mengenai beratnya mengelola pusat perbelanjaan di tengah pandemi.

Meski mal diizinkan tetap buka saat ini, tapi pengunjung yang datang tetap sepi. Kebijakan tidak boleh makan di tempat atau dine in di restoran berpengaruh signifikan pada minat pengunjung datang ke mal.

"Jadi terimbas juga kepada tenant-tenant lain yang bukan makanan dan minuman di mana diketahui bahwa selama ini untuk mal itu, orang datang ke mal, pengunjung ke mal itu selain berbelanja sebenarnya juga ingin juga melakukan dine in," ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Dia menegaskan bahwa bagi tenant makanan dan minuman di mal, tidak mudah menggaet pelanggan yang mau memesan secara take away karena sempat ada larangan makan di tempat. Kalau pun ada, jumlah sangat sedikit sehingga membuat mereka memilih tutup.

"Jadi ternyata pada saat dine in tidak diizinkan untuk makan di tempat, hanya boleh take away dan ternyata memang ada sebagian besar bahkan mayoritas dine in itu sulit untuk dilakukan delivery ataupun take away. Sehingga semua 95% dari resto-resto tersebut yang dine in, menutup untuk temporary dan itu ternyata imbasnya sangat luas," katanya.

Dengan kondisi tersebut, dampak ke kunjungan mal signifikan. Dikatakan bahwa lalu lintas mal sangat rendah sehingga hanya mencapai antara 15% sampai 20% itu pada saat dine in tidak diizinkan. Padahal, dia menegaskan bahwa mal bukanlah termasuk klaster Covid-19.

"Perlu kami sampaikan sebenarnya untuk pusat belanja di DKI itu bukan merupakan merupakan klaster Covid-19. Jadi ini terus terang menyebabkan para tenant maupun pengelola pusat belanja itu mengalami masa-masa yang sangat sangat berat," urainya.

Dikatakan, pada awal masa pandemi, sebenarnya pengelola mal sudah banyak membantu tenant. Hal ini dilakukan untuk menjaga napas para tenant agar lebih panjang dalam menjalankan roda usahanya.

"Kebijakannya tentu tidak sama ya, tergantung dari kemampuan dan kesiapan daripada pusat belanja di mana umumnya diberikan juga discount rental maupun diskon service charge kepada para tenant tersebut," katanya.

"Jadi untuk pusat belanja juga boleh dikatakan selama 7 bulan ini ya, dari bulan Maret akhir sampai dengan saat ini kami sudah membantu para tenant itu dengan membebaskan uang sewa, katakan demikian ataupun diskon uang sewa dan service charge itu rata-rata sudah mencapai 5 bulan sampai 6 bulan uang sewa ataupun service charge," urainya.

Pemberlakuan PSBB transisi di DKI Jakarta yang membuat ketentuan lebih longgar terhadap bisnis restoran seperti dicabutnya larangan dine in ternyata tak langsung memengaruhi sikap seluruh pengusaha restoran. Bisnis restoran termasuk yang sudah berdarah darah, sebagian sempat akan menutup permanen di awal November.

Wakil Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin mengakui saat ini banyak pengusaha restoran yang lebih memilih untuk tidak membuka dulu usahanya. Padahal, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah mengizinkan masyarakat untuk dine-in atau makan di tempat bagi restoran.

Sikap wait n see ini diambil karena mereka enggan mengambil resiko jika sewaktu-waktu kondisi kembali berubah. Diantaranya akibat inkonsistensi pemerintah.

"Sekitar 40% masih menunggu. Ada yang udah buka tapi sebagiannya saja karena masih melihat situasi. Misal dia ada 15 outlet, yang dibuka 8 di antaranya. Yang lain nanti saja," jelas Emil kepada CNBC Indonesia.

Selain memantau kebijakan yang diambil pemerintah, pengusaha juga terus memantau situasi sosial masyarakat yang terjadi belakangan. Di antarnya aksi unjuk rasa yang terus berlangsung beberapa hari. Tidak bisa dipungkiri, itu menjadi salah satu alasan pengusaha restoran lebih memilih untuk tidak buru-buru kembali beroperasi.

"Meski sudah dibuka untuk dine-in (makan di tempat) kemarin masih sepi. Orang masih wait and see, melihat dan tunggu demo sampai selesai lah. Ada yang begitu. Pengusaha khawatir penularannya makin tinggi. Jadi orang menunggu demo selesai baru buka," paparnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular