
RI Juara Urusan Ribetnya Investasi? Nih Buktinya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara paling 'ribet' untuk berbisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) periode Juni 2020.
TMF Group dalam laporan Global Business Complexity Index Rankings 2020 menempatkan Indonesia di peringkat pertama. Ini bukan prestasi, karena posisi teratas di sini berarti Indonesia menjadi negara dengan tingkat kerumitan bisnis paling tinggi, alias paling ruwet bin ribet.
Menelisik jumlah aturan di Indonesia, maka tidak heran TMF Group menempatkan Indonesia sebagai peringkat pertama yang paling ribet soal aturan berbisnis.
Berdasarkan data dari peraturan.go.id, dikutip CNBC Indonesia Jumat (16/10/2020) Indonesia memiliki 38.474 peraturan yang berlaku. Terdiri dari 3.505 peraturan Pusat, sebanyak 15.088 peraturan menteri, ada 3,906 peraturan LPNK (Lembaga Pemerintah Nonkementerian), dan 15.975 peraturan daerah.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia sudah memiliki paket kebijakan 1-16, yang dalam rencananya saat itu, banyak peraturan pemerintah yang akan disimplifikasi.
"Tapi faktanya jumlah peraturan di level teknis pada periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) 2014-2018 lebih banyak 1.300 peraturan dibandingkan era presiden sebelumnya (data bank dunia)," jelas Bhima kepada CNBC Indonesia, Jumat (16/10/2020).
"Ini jelas artinya yang menciptakan keruwetan adalah internal pemerintah pusat sendiri," kata Bhima melanjutkan.
Pun melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pun, menurut Bhima belum tentu simplifikasi aturan itu terjadi. Pasalnya aturan teknisnya saja bisa mencapai 516 regulasi dari turunan undang-undang sapu jagad tersebut.
Bhima menekankan, over regulasi masih akan berlangsung selama Presiden Jokowi tidak mampu menertibkan menteri yang giat luncurkan aturan baru. Karena, akar masalahnya adalah buruknya koordinasi antar kementerian dan lembaga.
Senada dengan Bhima, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah memandang, Omnibus Law Cipta Kerja tidak akan serta merta menghilangkan semua keribetan berbisnis di Indonesia. Persoalan birokrasi perizinan dipastikan masih akan ada.
Adapun Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, Omnibus Law Ciptaker harus menjadi ruang temu berbagai stakeholder dalam mengatur aturan turunan baik itu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).
Salah satu kebijakan yang bisa diambil pemerintah dalam membuat aturan turunan dari UU Ciptaker, menurut Fithra bisa dengan melalui konsensus atau menyediakan platform agar semua pihak bisa berkolaborasi untuk bisa saling bertukar gagasan.
"Sekarang ini kan masing kurang partisipatif, seharusnya bisa dibuka lagi. Omnibus Law bisa dijawab dengan PP atau Perpres nanti. Belajar dari penolakan yang masih terjadi saat ini, bisa jadi pelajaran untuk membuka ruang partisipasi itu, untuk bisa bersama-sama merumuskan aturan turunan dari Omnibus Law," jelas Fithra kepada CNBC Indonesia.
Senada, Kepala Ekonom BCA David Sumual juga mengingatkan, jangan sampai aturan di dalam UU Ciptaker sudah baik, tapi aturan teknis hingga implementasinya carut-marut. Artinya, tingkat regulasinya dan implementasinya harus tersinkronisasi dengan baik sampai ke daerah.
David juga menyarankan agar pemerintah bisa melakukan penyetaraan yang sama, untuk para pelaku usaha. Kemudahan-kemudahan berusaha jangan hanya diberikan kepada mereka yang hendak berinvestasi, tapi juga untuk mereka yang sudah berbisnis lama di Indonesia.
"Kepastian hukum penting, memberikan insentif kepada mereka yang telah berinvestasi maupun mereka yang hendak berinvestasi di Indonesia. Harus sama perlakuannya. Sehingga mereka yang telah berinvestasi, bersedia berinvestasi terus menerus di Indonesia," jelas David.
Sebelumnya, TMF Group yang merupakan lembaga konsultan dan riset yang berbasis di Belanda menganalisis 250 kriteria dari 77 negara untuk menentukan GBCI tahun ini.
Menurut TMG Group, kerumitan berinvestasi di Indonesia terutama disebabkan oleh kebijakan perburuhan yang sangat kaku. Dengan semangat melindungi pekerja dari eksploitasi, sulit bagi pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena wajib membayar pesangon dalam jumlah besar.
"Sulit untuk melakukan upaya pendisiplinan atau memecat pegawai yang kinerjanya kurang. Regulasi semacam ini yang dinilai oleh pihak luar sebagai penghambat investasi asing," sebut laporan TMF Group.
Kerumitan berinvestasi di Indonesia lainnya juga meliputi administrasi bisnis, waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis, perubahan dalam undang-undang perpajakan, kebijakan seputar upah dan manfaat, hingga tantangan membuka rekening bank.
"Indonesia meraih peringkat sebagai tempat paling kompleks untuk berbisnis dalam laporan tahun ini," tulis TMF Group.
Selain Indonesia, negara yang masuk dalam peringkat 5 besar tempat paling kompleks untuk berbisnis, yakni Brasil, Argentina, Bolivia, dan Yunani.
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Indonesia Business and Economic Report