RI 'Jualan' Omnibus Law, Apa Laris Disambar Investor?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 October 2020 15:05
Presiden Jokowi melakukan peninjauan di lokasi Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia yang terletak di Desa Ketanggan. Kec Gringsing, Kabupaten Batang, Selasa 30/06/2020. (Ist Agus Suparto)
Foto: Presiden Jokowi melakukan peninjauan di lokasi Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia yang terletak di Desa Ketanggan. Kec Gringsing, Kabupaten Batang, Selasa 30/06/2020. (Ist Agus Suparto)

Tak dapat dipungkiri, tugas pemerintah memang sangat berat, apalagi masalah investasi di Indonesia termasuk kompleks. Selama ini salah satu faktor yang jadi penghambat pertumbuhan ekonomi RI yang tinggi adalah masih rendahnya kontribusi penanaman modal asing (PMA) terhadap output perekonomian. 

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan sumbangsih PMA yang rendah terhadap output perekonomiannya. Kontribusi PMA terhadap PDB RI masih kalah dengan kontribusi PMA terhadap output perekonomian negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Kamboja.

Bahkan parahnya lagi dalam satu dekade terakhir, kontribusi PMA terhadap perekonomian RI berfluktuasi cenderung tetap. 

Akan lebih miris ketika aliran modal masuk dalam bentuk PMA ini tak serta merta mendongkrak angka serapan tenaga kerja. Pada periode 2010-2015, serapan tenaga kerja dari PMA lebih tinggi dibanding investasi domestik (PMDN).

Di tahun 2013 dan 2014 bahkan serapan tenaga kerja dari PMA mencapai 1 juta orang lebih. Namun pada 2016-2017 serapan tenaga kerja dari PMDN jauh mengungguli PMA. Barulah di dua tahun terakhir serapan PMA & PMDN cenderung setara. 

Hanya saja yang disayangkan justru tren serapan tenaga kerja total dalam enam tahun terakhir cenderung menurun baik dari sisi PMA dan PMDN. Padahal populasi Indonesia terus bertambah 1% per tahunnya.

Jumlah angkatan kerja yang memasuki pasar tenaga kerja mencapai lebih dari 2 juta. Artinya masih ada jurang pemisah sebesar 1 juta orang yang belum terserap ke pasar tenaga kerja. 

Melihat dari sisi makro, sektor terbesar yang paling berkontribusi terhadap perekonomian RI adalah sektor primer seperti industri pengolahan (manufaktur) dan pertanian. Namun pertumbuhan dan kontribusinya terhadap PDB justru melambat dan semakin menciut. 

Tentu ini sangat disayangkan mengingat dua sektor ini adalah sektor yang padat karya dengan serapan tenaga kerja yang tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir investasi justru mengalir ke sektor-sektor yang lebih padat modal sehingga hal ini bisa menjelaskan mengapa serapan tenaga kerja cenderung menurun. 

Lagipula jika melihat struktur pasar tenaga kerja RI, sektor informal masih mendominasi dengan total tenaga kerja mencapai lebih dari 70 juta orang sementara untuk sektor formal hanya 56,2 juta orang saja tahun lalu. 

Investor selama ini melirik RI bukan karena untuk mencari efisiensi atau rantai pasok mengingat industri di Tanah Air juga cenderung bolong-bolong (fragmented). Artinya industri hulu ke hilir tidak terintegrasi dengan baik. 

Ekonomi RI juga masih bergantung pada sektor komoditas yang nilai tambahnya rendah. Selama ini investor lebih tertarik untuk melihat Indonesia sebagai 'pasar' karena populasinya yang besar dan populasi kelas menengah yang terus tumbuh. 

Kalau melihat masalah kompleks tersebut yang belum diselesaikan pada akhirnya daya saing investasi RI belum tentu terdongkrak secara signifikan. Pada akhirnya UU Cipta Kerja juga belum tentu bisa menjamin banyak tenaga kerja domestik terserap banyak, produktivitas naik dan masyarakat menjadi lebih terangkat taraf hidupnya seperti tujuan awalnya.

Lagipula investasi bukan soal aturan yang 'manis' saja tapi tak kalah penting terletak pada aspek law enforcement, stabilitas politik, upaya penumpasan korupsi hingga langkah konkret pemerintah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular