RI 'Jualan' Omnibus Law, Apa Laris Disambar Investor?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 October 2020 15:05
Jokowi memberikan keterangan Pers terkait Undang-Undang Cipta Kerja, Istana Bogor, 9 Oktober 2020. (Tangkapan layar Youtube Setpres RI)
Foto: Jokowi memberikan keterangan Pers terkait Undang-Undang Cipta Kerja, Istana Bogor, 9 Oktober 2020. (Tangkapan layar Youtube Setpres RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengesahan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) mengundang banyak pro dan kontra. Investor menyambut baik itikad RI untuk mempermudah investasi. Namun bagi buruh aturan baru ini justru malah membuat para pekerja semakin termarjinalkan.

Berangkat dari latar belakang, UU Cipta Kerja merupakan produk aturan hukum atas inisiatif pemerintah dan DPR untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi aturan menggunakan metode Omnibus Law guna menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. 

Narasi yang selama ini beredar adalah investor enggan untuk menanamkan modal ke Indonesia karena aturan yang tidak jelas dan sering berubah-ubah, tumpang tindih, birokrasi berbelit-belit hingga aturan ketenagakerjaan yang rigid. 

Di saat pabrik-pabrik banyak yang direlokasi ke China ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bukanlah destinasi yang seksi bagi pemilik modal. Investor lebih memilih Vietnam untuk merelokasi pabriknya. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram melihatnya. Pandemi Covid-19 sejatinya memberi peluang bagi RI untuk merebut hati investor. Fenomena bedol desa pabrik dari China untuk mencari 'rumah' baru sebagai strategi diversifikasi rantai pasok yang lebih tahan dari gejolak tak mau dilewatkan oleh Jokowi di periode II kepemimpinannya.

Lagi pula melihat realita bahwa Indonesia selama ini menjadi negara yang serba defisit (APBN, neraca dagang, transaksi berjalan) serta rendahnya domestic savings sehingga tak bisa menambal kebutuhan investasi membuat RI membutuhkan pendanaan eksternal.

Fenomena bedol desa investor dari China juga dibarengi dengan kenaikan angka pengangguran akibat PHK yang dipicu oleh pandemi Covid-19.

Inilah yang membuat pemerintah dan DPR melihat urgensi bukan lagi reformasi tetapi transformasi kebijakan untuk mengundang investor agar mau masuk ke RI.

Masuknya investor terutama asing diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan menyerap para calon pekerja yang tiap tahunnya bertambah 2 juta orang sementara serapannya lebih rendah sehingga angka pengangguran bisa diturunkan.

Tujuan akhir UU Cipta Kerja pada akhirnya untuk menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi RI yang saat ini sekarat akibat pandemi Covid-19. Bagaimanapun juga upaya untuk melakukan transformasi acap kali menimbulkan perbedaan pendapat. 

Dalam hal ini buruh sebagai pihak yang merasa dirugikan menolak pengesahan UU kontroversial tersebut. Sejak disahkan oleh DPR pada Senin (5/12/2020), sederet gelombang demo yang berakhir kisruh pecah di berbagai wilayah di Tanah Air. 

Poin-poin yang secara tegas ditolak oleh kaum buruh memang banyak. Beberapa di antaranya adalah soal pesangon yang dipangkas, kebijakan soal kerja kontrak, waktu kerja, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) hingga soal cuti. 

Tak hanya dari buruh saja, protes keras juga dilayangkan oleh berbagai komunitas yang peduli terhadap lingkungan. Melihat lebih jelas, protes dan aksi demo ricuh yang terjadi menggambarkan perbedaan kepentingan antara pemilik modal dan buruh. Peran dan keberpihakan pemerintah juga dipertanyakan dalam pembuatan UU. 

Ada yang menilai proses pembuatannya cacat, banyak yang menilai terlalu tergesa-gesa dan tidak mewakili seluruh kepentingan yang ada mengingat hajatnya yang besar dan mencakup banyak pihak. 

Lantas apakah UU Cipta Kerja ini akan berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia? Jawabannya tidak sesederhana dikotomi iya atau tidak pada umumnya. Lagipula ini baru awal pengesahan dan secara legal formal Pemerintah masih harus mendetailkan UU yang bersifat general menjadi PP yang lebih teknis mengatur.

Perlu ada indikator-indikator yang jelas serta terukur untuk menilai dampak dari pengesahan UU Cipta Kerja ini. Jika ditanya apakah UU Cipta Kerja bisa menarik masuk investor terutama asing? 

Apabila melihat respons positif dari para pemilik modal, kemungkinan iya. Namun perlu ada pandangan yang lebih kritis dalam melihat konteks masuknya investor asing ke dalam negeri dari segi kuantitas secara entitas maupun nominal. 

Menurut kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia jika UU Cipta Kerja sudah diberlakukan, ada 153 perusahaan yang akan masuk ke Indonesia. Diharapkan ini mampu membuka lapangan kerja untuk RI. 

Terlihat sekilas bahwa UU Cipta Kerja memang jadi magnet positif bagi investor. RI patut berbangga karena kembali dipandang oleh investor.

Namun perihal investasi, ada aspek lain yang juga harus dilihat dengan jeli yaitu ke sektor mana saja aliran modal masuk ini? Apakah ke sektor-sektor yang padat karya atau pada modal saja? Apakah ke sektor yang jadi penggerak roda perekonomian RI atau ke sektor lain?

Tak dapat dipungkiri, tugas pemerintah memang sangat berat, apalagi masalah investasi di Indonesia termasuk kompleks. Selama ini salah satu faktor yang jadi penghambat pertumbuhan ekonomi RI yang tinggi adalah masih rendahnya kontribusi penanaman modal asing (PMA) terhadap output perekonomian. 

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan sumbangsih PMA yang rendah terhadap output perekonomiannya. Kontribusi PMA terhadap PDB RI masih kalah dengan kontribusi PMA terhadap output perekonomian negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Kamboja.

Bahkan parahnya lagi dalam satu dekade terakhir, kontribusi PMA terhadap perekonomian RI berfluktuasi cenderung tetap. 

Akan lebih miris ketika aliran modal masuk dalam bentuk PMA ini tak serta merta mendongkrak angka serapan tenaga kerja. Pada periode 2010-2015, serapan tenaga kerja dari PMA lebih tinggi dibanding investasi domestik (PMDN).

Di tahun 2013 dan 2014 bahkan serapan tenaga kerja dari PMA mencapai 1 juta orang lebih. Namun pada 2016-2017 serapan tenaga kerja dari PMDN jauh mengungguli PMA. Barulah di dua tahun terakhir serapan PMA & PMDN cenderung setara. 

Hanya saja yang disayangkan justru tren serapan tenaga kerja total dalam enam tahun terakhir cenderung menurun baik dari sisi PMA dan PMDN. Padahal populasi Indonesia terus bertambah 1% per tahunnya.

Jumlah angkatan kerja yang memasuki pasar tenaga kerja mencapai lebih dari 2 juta. Artinya masih ada jurang pemisah sebesar 1 juta orang yang belum terserap ke pasar tenaga kerja. 

Melihat dari sisi makro, sektor terbesar yang paling berkontribusi terhadap perekonomian RI adalah sektor primer seperti industri pengolahan (manufaktur) dan pertanian. Namun pertumbuhan dan kontribusinya terhadap PDB justru melambat dan semakin menciut. 

Tentu ini sangat disayangkan mengingat dua sektor ini adalah sektor yang padat karya dengan serapan tenaga kerja yang tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir investasi justru mengalir ke sektor-sektor yang lebih padat modal sehingga hal ini bisa menjelaskan mengapa serapan tenaga kerja cenderung menurun. 

Lagipula jika melihat struktur pasar tenaga kerja RI, sektor informal masih mendominasi dengan total tenaga kerja mencapai lebih dari 70 juta orang sementara untuk sektor formal hanya 56,2 juta orang saja tahun lalu. 

Investor selama ini melirik RI bukan karena untuk mencari efisiensi atau rantai pasok mengingat industri di Tanah Air juga cenderung bolong-bolong (fragmented). Artinya industri hulu ke hilir tidak terintegrasi dengan baik. 

Ekonomi RI juga masih bergantung pada sektor komoditas yang nilai tambahnya rendah. Selama ini investor lebih tertarik untuk melihat Indonesia sebagai 'pasar' karena populasinya yang besar dan populasi kelas menengah yang terus tumbuh. 

Kalau melihat masalah kompleks tersebut yang belum diselesaikan pada akhirnya daya saing investasi RI belum tentu terdongkrak secara signifikan. Pada akhirnya UU Cipta Kerja juga belum tentu bisa menjamin banyak tenaga kerja domestik terserap banyak, produktivitas naik dan masyarakat menjadi lebih terangkat taraf hidupnya seperti tujuan awalnya.

Lagipula investasi bukan soal aturan yang 'manis' saja tapi tak kalah penting terletak pada aspek law enforcement, stabilitas politik, upaya penumpasan korupsi hingga langkah konkret pemerintah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular