Transisi Energi Digaungkan, Masa Depan Batu Bara Bakal Suram?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 October 2020 19:05
PTBA/Bukitasam.co.id
Foto: PTBA/Bukitasam.co.id

Jakarta, CNBC Indonesia - Transisi energi dari energi berbasis fosil ke energi baru terbarukan (EBT) terus digaungkan oleh sejumlah negara, terutama negara maju. Alhasil, kampanye ini akan semakin menekan industri batu bara secara global, sehingga mau tidak mau para pelaku usaha di sektor pertambangan batu bara perlu memutar otak agar bisa tetap bertahan.

Di tambah lagi, adanya pandemi Covid-19 yang membuat harga batu bara anjlok dan permintaan akan energi turun, ini semakin menekan kinerja industri batu bara. Oleh karena itu, perlu perubahan paradigma bagi para pelaku usaha di sektor batu bara agar bisa tetap bertahan di masa mendatang, salah satunya yaitu menciptakan nilai tambah atau bergerak ke hilirisasi batu bara.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan ada tujuh peluang industri hilir batu bara, sehingga industri batu bara masih bisa bertahan di tengah transisi energi.

Tujuh industri hilir tersebut di antaranya gasifikasi batu bara, pembuatan kokas, underground coal gasification, pencairan batu bara, peningkatan mutu batu bara, pembuatan briket batu bara, dan coal slurry/ coal water mixture.

"Kalau bicara hilirisasi, ada tujuh peluang yang bisa masuk. Tujuh varian hilirisasi gas, kokas. Kokas, kita masih impor US$ 1,5 miliar untuk kebutuhan kokas, artinya kita punya batu bara, tapi masih impor kokas. Hilirisasi adalah masa depan batu bara," tutur Sujatmiko dalam diskusi secara daring bersama Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (13/10/2020).

Sujatmiko memperkirakan permintaan ekspor batu bara ke depannya akan terus menurun. Meski demikian, penyerapan di dalam negeri tidak akan secepat penurunan global. Oleh karena itu, pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk fiskal dan non fiskal untuk mempercepat hilirisasi batu bara.

Dia mengatakan, insentif non fiskal yakni melalui pemberian izin tambang bisa diperpanjang sampai seumur cadangan. Sementara insentif fiskal yang diberikan yaitu melalui royalti 0% bagi perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi.

"(royalti) bisa 0%, bisa tingkatkan keekonomian hilirisasi batu bara," ungkapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, melalui hilirisasi, ini akan menciptakan nilai tambah bagi daerah. Meski royalti 0%, namun diperkirakan akan ada percepatan pembukaan lapangan kerja di daerah dan juga peningkatan pajak dari industri.

"Jadi, nilai tambah bagi negara, pemerintah daerah dapat percepatan lapangan kerja dan pengembangan industri setempat," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa saat ini sejumlah negara importir batu bara seperti India dan China sudah mulai melakukan pembatasan, ditambah beberapa negara lain yang turut mengurangi impor batu bara, sehingga pasar ekspor akan semakin sulit.

"Sejumlah negara mengurangi proyek PLTU batu bara. Pasar ekspor akan semakin berkurang ditambah tekanan penjualan batu bara di internasional, di mana Rusia dan Afrika masuk pasar yang tadinya didominasi Indonesia," jelasnya.

Kemudian, di dalam negeri batu bara diasumsikan sebagai sumber energi listrik termurah. Namun dalam perjalanannya, sumber listrik dari energi baru terbarukan (EBT) akan semakin kompetitif.

"IESR mencoba melihat ini, implikasi dari transisi energi. Di Indonesia, tidak hanya sumber pendapatan negara bukan pajak, sejumlah provinsi yang menjadi produsen batu bara juga mengandalkan APBD dari batu bara," ungkapnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Produksi dan PNBP Batu Bara RI Bisa Turun di Kuartal II

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular