Ini Sejumlah Terobosan UU Ciptaker untuk Sektor Nuklir

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
12 October 2020 13:43
Batan: UU Ciptaker, Terobosan Bagi Pengembangan Ketenaganukliran(CNBC Indonesia TV)
Foto: Batan: UU Ciptaker, Terobosan Bagi Pengembangan Ketenaganukliran(CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sub tema ketenaganukliran turut diatur di dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada pekan lalu. Beberapa ketentuan diubah untuk memudahkan pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha di sektor ketenaganukliran.

Lalu, seperti apa dampaknya pada usaha di sektor ketenaganukliran?

Peneliti Senior sekaligus Mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan masuknya nuklir dalam UU Ciptaker menjadi sesuatu yang baru bagi sektor ketenaganukliran. UU baru ini menurutnya bakal memperbaiki UU sebelumnya yakni UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

"Ada istilah perizinan berusaha, ini tidak dikenal sebelumnya di UU No 10 tahun 1997. Ini membuka peluang bisa menggali atau melakukan usaha bisnis terkait bahan nuklir atau mineral ikutan radioaktif. Sebelumnya, hanya non komersial (untuk gali bahan baku nuklir)," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (12/10/2020).

Lebih lanjut dia mengatakan, untuk mengimplementasikan UU baru ini dibutuhkan aturan turunan melalui peraturan pemerintah. Pihanya berharap agar di dalam peraturan turunan nanti ada hal-hal baru yang tidak hanya berkaitan dengan pasal-pasal ketenaganukliran, tapi mengenai hal lain seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), masalah ketenagalistrikan dan lainnya.

"Ini bisa dieksplor lebih lanjut dengan peraturan pemerintah," ungkapnya.

Djarot menjelaskan, Indonesia sudah memiliki sejarah panjang soal nuklir, namun sampai saat ini belum punya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Padahal, imbuhnya, saat ini Indonesia menghadapi situasi darurat dalam mengejar target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Sementara saat ini baru tercapai 9,15%.

"Kalau dibutuhkan, mau bangun di mana harus ada terobosan RTRW. Pernah saya ada pengalaman urus di Provinsi yang sudah ada Feasibility Study (FS) antara Menteri Agraria dan Gubernur. Sering terjadi miskomunikasi. Ini sudah menjadi UU. Ini terobosan kemandirian (bahan baku), kelak punya uranium berapa sih jumlahnya kalau mau bangun PLTN," jelasnya.

Beberapa pasal perubahan yang dia garis bawahi yakni Pasal 9A yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Lalu Pasal 17 menyebutkan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari pemerintah pusat, kecuali dalam hal tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

"Sebelumnya di UU No 10 tahun 1997 tidak dikenal perizinan usaha, hanya perizinan. Ini yang baru lagi adalah moga-moga ada harmonisasi karena sektor kelistrikan selama ini diatur oleh Kementerian ESDM, sementara keselamatan dan keamanan diatur oleh badan pengawas tenaga nuklir. Mudah-mudahan nanti ada harmonisasi dari dua regulator tersebut," paparnya.

Dia mengatakan, Indonesia memiliki potensi uranium sebesar 80,6 ribu ton, thorium sebesar 143,2 ribu ton. Namun sayangnya, data tersebut belum sampai kepada cadangan, hanya berupa potensi, karena keterbatasan BATAN. Dengan adanya Omnibus Law ini, maka diharapkan data potensi ini bisa berubah menjadi data cadangan.

"Moga-moga dengan UU yang baru, bisa ke arah reserve (cadangan). Swasta, BUMN bisa masuk. Meski potensi uraniumnya baru sekian 80 ribu ton, tidak sebesar dibandingkan Australia yang mencapai 1,8 juta ton, mudah-mudahan dengan UU baru ini kita bisa perluas dan menaikkan jumlah tersebut," harapnya.

Hal senada juga diungkapkan Pakar Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) Zaki Su'ud. Dengan adanya regulasi baru ini, menurutnya ada terobosan, terutama mengenai kejelasan regulasi.

Di dalam UU No. 10 tahun 1997 menurutnya tidak ada kejelasan mengenai posisi pemerintah pusat dan daerah. Di dalam UU baru ini semakin memperjelas posisi masing-masing yang diharapkan akan memudahkan investor dalam mengurus perizinan.

"Kemudian ada updating mengenai sanksi bahwa potensi bahan galian terkait nuklir dikuasai oleh negara. Kalau ada badan usaha swasta atau BUMN melakukan usaha galian dan di dalamnya ada nuklir, maka otomatis akan diambil negara. Regulasi UU baru ini merupakan terobosan signifikan," tuturnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Maaf! RI Belum Siap Nuklir untuk Listrik, Tapi untuk Pangan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular