UU Ciptaker: Badan Usaha Kini Bisa Nambang Bahan Baku Nuklir

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
09 October 2020 16:05
Infografis: Ini Daftar Negara Produsen Nikel terbesar DI dunia
Foto: Infografis/ Ini Daftar Negara Produsen Nikel terbesar DI dunia/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Sub tema ketenaganukliran turut masuk dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Senin (05/10/2020) lalu. Beberapa ketentuan diubah untuk memudahkan masyarakat, khususnya pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha di sektor ketenaganukliran.

Mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan Omnibus Law ini lebih mengarah pada perizinan berusaha, terutama dalam melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir. Menurutnya, selama ini pertambangan bahan baku nuklir hanya boleh dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), kemudian kini dibuka untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bekerja sama dengan swasta.

Dia menyebut, mulanya izin eksploitasi uranium dan thorium di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran belum diatur izin eksploitasi secara komersial. Namun, aturan yang sekarang tercantum dalam Omnibus Law ini memperbolehkannya.

"Di situ terlihat di masalah pertambangan bahan galian nuklir. Tadinya uranium dan thorium tidak ada pasal di UU 10 tahun 1997 yang tidak membolehkan dieksploitasi secara komersial, tapi sekarang boleh," paparnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (09/10/2020).

Menurutnya, selama ini BATAN memiliki keterbatasan biaya untuk eksplorasi, sehingga hanya bisa mengungkapkan potensi uranium sebesar 80 ribu ton dan thorium sebesar 140 ribu ton.

Ke depan, imbuhnya, dengan masuknya BUMN maupun swasta untuk berbisnis kegiatan pertambangan bahan galian nuklir ini, maka diharapkan bisa mengetahui berapa besar cadangan dari uranium dan thorium tersebut. Dengan demikian, tidak hanya mengetahui sekedar jumlah potensinya, melainkan sudah ada peningkatan berupa cadangan terbukti.

"Maka kelak setelah ada pihak swasta berbisnis bidang ini, maka kita bisa mendapatkan berapa cadangan uranium, misalnya seperti itu," jelasnya.

Namun demikian, dia mengatakan ke depan bila Indonesia sudah punya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka kebutuhan akan uraniumnya akan lebih murah bila dipasok dari impor dibandingkan dari hasil eksploitasi di dalam negeri. Meski impor, menurutnya bukan berarti ketahanan energi negara ini lemah.

Menurutnya, ada hal yang perlu diubah mengenai paradigma ketahanan energi. Dia menyebut misalnya mengolah bahan mentah impor lebih baik, maka ketahanan energi bisa dikatakan bagus. Dia mencontohkan negara Jepang yang tidak punya sumber daya alam seperti batu bara, gas, dan minyak. Meski Jepang mengimpor bahan baku energi, namun ketahanan energinya lebih baik dari Indonesia.

"Uranium bukan bahan habis pakai seperti minyak, gas, dan batu bara. Sekali impor uranium, maka kita bisa mendapatkan plutonium dan sisa uranium di dalam limbahnya. Bisa kita pakai lagi. Kalau Jepang, Korea, Bangladesh, UEA, membangun PLTN tidak punya uranium apakah ketahanan energinya lemah?," tegasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, PLTN adalah bisnis yang membutuhkan dukungan industri dari manufaktur yang kuat. Saat ini semua PLTN masih menggunakan uranium. Sedangkan untuk pemanfaatan bahan lain berupa thorium diperkirakan masih butuh waktu lebih panjang.

"PLTN itu bisnis yang membutuhkan dukungan industri manufaktur yang kuat. Semuanya masih menggunakan uranium. Maka thorium mungkin masih butuh waktu tiga dekade," ungkapnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wah! Ada Pasal Nuklir di UU Cipta Kerja, Apa Isinya Nih

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular