
Nasi Sudah Jadi Bubur, Soal UMKM Malah Blunder di Omnibus Law

Jakarta, CNBC Indonesia - Secara umum kalangan dunia usaha menyambut positif UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Namun, ada hal yang menganjal salah satunya masalah Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM).
"Secara umum Undang-Undang Omnibus Law arahnya sudah baik, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan iklim usaha yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang jumlahnya sangat banyak dan dari tahun ketahuan terus bertambah, tahun ini saja paling tidak 2,9 juta tenaga kerja baru," kata Managing Director Institute of Developing Economies and Entrepreneurship Sutrisno Iwantono kepada CNBC Indonesia, Senin (12/10).
Ia mengatakan justru ada yang kurang pas dari Omnibus Law yaitu soal UMKM terutama soal kriterianya yang di Omnibus Law jadi kian rumit. Apalagi pelaku usaha yang paling besar menyerap angkatan kerja adalah UMKM.
Iwantono mengatakan jumlah usaha kecil di Indonesia lebih dari 62 juta. Jika setiap usaha kecil mempekerjakan tenaga kerja antara 1 sampai dengan 3 orang saja maka mereka dapat memberikan pekerjaan lebih dari 100 juta tenaga kerja. Sedangkan menurut BPS usaha mikro, kecil dan menengah menampung sekitar 97% tenaga kerja, sisa di usaha besar itu hanya sekitar 3% saja.
"Oleh karena itu seharusnya pemberdayaan Usaha mikro dan kecil ini menjadi prioritas. Yang lain-lain saya rasa cukup baik, tetapi ada point yang sangat krusial yang perlu dikritisi yaitu tentang kriteria usaha mikro, kecil dan menengah," katanya.
Ia bilang pada undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah cukup sederhana yaitu hanya dinilai dari Aset dan Omset, tetapi dalam Omnibus Law menjadi sangat banyak yaitu modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja.
"Elemen kriteria jauh lebih banyak walaupun sifat pilihan, yaitu "dapat", tetapi begitu banyak menjadi 9 kriteria," kata Iwantono yang juga Ketua Kebijakan Publik Apindo ini.
Iwantono berpendapat hal ini tentu kontradiksi dengan semangat Omnibus Law yang ingin menyederhanakan perizinan. "Esensi UU Cipta Kerja itu pada pokoknya untuk membuat "playing field" yang gampang, sederhana dan kondusif bagi seseorang agar bisa menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang terus tumbuh besar, paling tidak buat dirinya sendiri, menjadi misalnya wirausahawan," katanya.
Menurutnya dengan adanya penambahan kriteria UMK (Usaha Mikro, Kecil) dari 2 menjadi 9 elemen (walaupun pilihan) tentu bertentangan dengan esensi UU Cipta Kerja.
"Kalau UMK diikat dengan kriteria yang begitu banyak bagaimana bisa tumbuh? Padahal alasan dibalik UU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan lapangan kerja melalui UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Saya merasa ini salah satu blunder yang perlu menjadi perhatian," katanya.
Ia mengatakan sudah mengkaji kriteria usaha kecil dan menengah di berbagai negara. Ia bilang tidak menemukan kriteria sampai 9 elemen, rata-rata hanya 3 kriteria, dan yang umum adalah asset, omset dan jumlah tenaga kerja.
Iwantono berpendapat, seharusnya kriteria UMKM maksimum 3 elemen saja. Ia mengusulkan cukup aset, omzet, dan jumlah tenaga kerja. Untuk usaha kecil aset maksimum Rp 5 miliar, Omzet maksimum Rp 10 miliar, dan tenaga kerja maksimum 40 orang.
"Di atas itu tergolong usaha menengah, dan untuk usaha mikro menyesuaikan kriteria ke bawah. Kriteria Aset bisa menyesuaikan dengan Omzet," katanya.
"Jadi penambahan kriteria yang semakin complicated ini sekali lagi kontra produktif dengan semangat dan esensi UU Cipta Kerja. Dan jika UMK terhambat karena soal ini, maka UU Cipta Kerja kehilangan rohnya," katanya.
"Nasi udah jadi bubur, kita berharap di Peraturan Pemerintah bisa mengembalikan esensi dari upaya penyederhanaan iklim usaha," katanya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fakta Omnibus Law: Pesangon Dipotong Sampai Outsourcing