UU Ciptaker Penyebab Demo Rusuh Bakar-bakaran? Belum Tentu...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 October 2020 07:40
Pelayanan Pasien OTG di Hotel Yasmin
Foto: Pelayanan Pasien OTG di Hotel Yasmin (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Mengapa UU Ciptaker kemudian malah melahirkan gelombang demonstrasi bahkan sampai ricuh dan menyebabkan perusakan?

Mungkin, sekali lagi mungkin, bukan UU Ciptaker yang menjadi gara-garanya. Adalah kondisi sosial-ekonomi yang membuat masyarakat marah. Kebetulan saja ada momentum demonstrasi, yang dijadikan ajang untuk melampiaskan keresahan.

Mengapa masyarakat saat ini bisa begitu emosional? Jawabannya agak mengerikan. Sebab, Indonesia saat ini sedang mengalami resesi ekonomi.

Seperti ratusan negara lain di dunia, Indonesia tidak luput dari serangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Semakin hari, jumlah mereka yang terjangkit virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu terus bertambah.

Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 8 Oktober 2020 adalah 320.564 orang. Bertambah 4.850 orang dibandingkan sehari sebelumnya. Tambahan pasien baru sebanyak itu dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak Indonesia mencatatkan kasus perdana pada awal Maret lalu.

Dalam 14 hari terakhir (25 September-8 Oktober), rata-rata pasien baru bertambah 4.182 orang setiap harinya. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 3.916 orang.

Untuk mempersempit ruang gerak virus corona, pemerintah Indonesia (seperti halnya pemerintah di negara-negara lain) mengedepankan kebijakan pembatasan sosial alias social distancing. Manusia harus dibuat berjarak dengan manusia lainnya, setidaknya 1-2 meter.

Kebijakan ini membuat aktivitas publik belum bisa normal seperti dulu. Sebisa mungkin warga diminta bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Tidak perlu keluar kalau tidak untuk urusan yang penting-penting amat.

Akibatnya, sekolah belum bisa melaksanakan kegiatan belajar-mengajar tatap muka di kelas. Jumlah pekerja yang masuk di perkantoran, pabrik, sampai instansi pemerintah dibatasi. Pengunjung di pusat perbelanjaan hanya boleh maksimal 50%. Restoran belum bisa menerima pelanggan yang makan-minum di tempat. Lokasi wisata belum bisa beroperasi. Dan sebagainya, dan sebagainya. Pokoknya masih ada pembatasan di sana-sini.

Ini membuat proses produksi terhambat, karena belum seluruh karyawan bisa masuk kerja. Kemudian karena sebagian masyarakat masih lebih banyak menghabiskan waktu #dirumahaja, permintaan pun anjlok.

Mengutip laporan Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google per 4 Oktober, aktivitas masyarakat masyarakat di dalam rumah masih 6% di atas kondisi normal. Sementara aktivitas di tempat kerja 12% di bawah normal, lokasi transit (stasiun, terminal, dan sebagainya) 33% di bawah hari biasa, taman 7% di bawah normal, sedangkan di lokasi perbelanjaan ritel dan tempat rekreasi 20% di bawah hari biasa.

Jadi, pandemi virus corona memukul ekonomi dari dua sisi sekaligus yaitu produksi dan permintaan. Ditekan dan dua sisi itu, sementara komponen biaya terus berjalan, dunia usaha mesti pusat otak untuk bertahan hidup. Salah satu caranya adalah merumahkan karyawan atau bahkan memberi vonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Berdasarkan laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang melibatkan 34.559 unit usaha, hanya 58,95% yang masih beroperasi seperti biasa. Sisanya ada yang beroperasi dengan pengurangan kapasitas sampai berhenti beroperasi.

"Akibat berhentinya roda perekonomian, ada saudara-saudara kita yang kehilangan pekerjaan, di-PHK atau kehilangan pendapatan. Jumlahnya, kalau data di Kementerian Ketenagakerjaan tidak sedikit, 3 juta lebih yang terdaftar," kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, pertengahan Juni lalu.

Ingat, itu angka Juni. Sekarang sudah Oktober, jumlahnya kemungkinan lebih banyak lagi.

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular