Jakarta, CNBC Indonesia - Pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020), menuai penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya buruh, pemuka agama hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun mengkritisi beleid tersebut.
Pemuka agama se-Indonesia membuat petisi online menolak keberadaan RUU Ciptaker. Mereka juga mendesak pemerintah dan DPR membuka ruang partisipasi publik.
Petisi dengan judul 'Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik' di situs change.org telah ditandatangani lebih dari 500 ribu lebih orang per pukul 10.58 WIB. Petisi online tersebut digagas oleh Busryo Muqodas, Pendeta Merry Koliman, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho dan Pendeta Penrad Sagian, sejak Senin (5/10/2020).
Dalam petisi tersebut, mereka menyampaikan RUU Cipta Kerja bakal mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Tak hanya itu, mereka juga mencatat beberapa persoalan mendasar dalam RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi undang-undang. Dari sektor agama, undang-undang baru ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah dan konflik kepercayaan.
"Adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi, dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara," demikian dalam isi petisi tersebut.
Mereka menyinggung pemangkasan hak-hak buruh atau pekerja. Buruh, kata mereka, akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan.
Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.
Para pemuka agama ini menyebut ada potensi konflik agraria dan lingkungan hidup. Padahal sebelum ada undang-undang baru ini, sedikitnya terjadi 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya dalam lima tahun terakhir.
Menurut mereka, potensi tersebut rawan terjadi setelah dilakukan sejumlah perubahan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja. Misalnya perubahan Pasal 82, 83 dan 84 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang masuk dalam Pasal 38 UU Cipta Kerja.
Pasal tersebut berkaitan dengan ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan.
Tak hanya itu, mereka menilai UU Cipta Kerja juga berpotensi memangkas ruang hidup kelompok nelayan, petani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi.
Sebab, kata mereka, aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan.
"Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya," katanya.
Tak hanya itu, UU Cipta Kerja juga berpotensi mengarah pada kekuasaan birokratis yang terpusat. Hal ini berlawanan dengan semangat desentralisasi atau otonomi daerah yang menjadi salah satu tuntutan reformasi 1998. UU baru tersebut akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.
"Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan," ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan RUU Cipta Kerja. Mereka menilai RUU ini akan merugikan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
"Meski ditentang oleh banyak kelompok masyarakat pemerintah dan DPR memaksakan pengasahan RUU Omnibus Law. Padahal jelas sudah bahwa setiap pasal-pasal dalam Omnibus Law justru menunjukkan negara mengabaikan hak rakyat, untuk hidup bermartabat dan justru mempercepat pengrusakan lingkungan," kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat menyampaikan sikap FRI melalui siaran YouTube Fraksi Rakyat ID, Senin (5/10/2020).
"Siapakah yang paling merugi dengan adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja? kita semua, contohnya omnibus law cipta kerja membuat pengusaha dapat menikmati hak guna usaha langsung 90 tahun padahal sebelumnya hanya 25 atau 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun jika perusahaan memenuhi syarat," sambungnya seperti dikutip detik.com, Selasa (6/10/2020).
Asfin menilai RUU Omnubus Law Cipta Kerja akan memperluas konflik agraria. Dia menyebut perempuan sering dikorbankan dalam konflik ini.
"Tentunya ini akan semakin memperdalam dan memperluas konflik agraria di mana perempuan sering kali mengalami intimidasi dan kekerasan berlapis. Seperti perempuan adat Pubabu yang diancam kriminalisasi karena melakukan aksi buka baju saat berhadapan dengan aparat keamanan," tuturnya.
Menyikapi hal tersebut, FRI menyampaikan beberapa sikap. Pertama, FRI mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan RUU Cipta kerja. Asfin juga menyoroti pembahasan RUU ini saat pendemi Corona.
"Kami menyatakan, satu mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintah, rakyat menuntut hentikan pembahasan dan batalkan RUU Omnibus Law Cipta kerja, pemerintah dan parlemen yang telah melakukan penghianatan kepada rakyat dan konstitusi. Sikap keras kepala mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tepat di saat rakyat dilanda kesusahan besar akibat pandemi COVID-19, resesi ekonomi menunjukkan pemerintah dan DPR telah menjadi antek penjajahan investor jahat dan koruptor," katanya.
FRI juga mengecam sikap pemerintah dan aparat keamanan yang melakukan kriminalisasi terhadap warga yang ingin melakukan mogok kerja dan unjuk rasa. Dia menyebut RUU Cipta Kerja hanya akan menghadirkan penjajahan gaya baru.
"Kedua, kecaman keras kepada pemerintah dan aparat keamanan, rakyat Indonesia meminta dihentikannya berbagai bentuk kriminalisasi kepada buruh dan rakyat yang akan melakukan mogok dan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Kerja. FRI mengingatkan bahwa berserikat, berkumpul menyatakan pendapat dijamin oleh konstitusi sehingga tidak boleh dihapuskan oleh niat jahat pemerintah dan DPR mengesahkannya RUU Cipta Kerja yang hanya akan menghadirkan penjajahan gaya baru," katanya.
Asfin kemudian mengajak masyarakat untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Serta mendukung aksi mogok nasional.
Ketiga kami mengajak masyarakat untuk semakin menyuarakan dan memperluas mosi tidak percaya ini. Lakukan aksi-aksi baik di dunia maya maupun dunia nyata untuk menggagalkan omnibus law dengan segala cara lewat segala media. Termasuk mendukung rencana mogok masal buruh dan mengajak masyarakat, termasuk perempuan di berbagai daerah dan sektor kehidupan seperti petani, nelayan, kaum miskin kota dan desa untuk mendukung pemogokan tersebut.
"Terakhir mengajak segenap rakyat Indonesia yang cinta akan kemerdekaan untuk tidak pernah berhenti melakukan perlawanan sampai RUU Cipta Kerja dibatalkan," sambungnya.
Fraksi Rakyat Indonesia ini terdiri dari Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, YLBHI, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (Aman).
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati menilai tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR dan pemerintah semakin menurun menyusul pengesahan RUU Cipta Kerja.
"Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang," kata Nur kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10/2020).
Nur mengatakan penolakan pelbagai elemen masyarakat tak menghambat langkah DPR dan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan, DPR dan pemerintah tak peduli dengan berbagai protes kalangan masyarakat. Menurut Nur, kondisi tersebut menjadi cermin kemunduran demokrasi Indonesia.
"Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan persekongkolan jahat proses legislasi yang abai pada kepentingan hak asasi manusia dan lingkungan hidup," ujarnya.
Nur sendiri mencatat ada beberapa hal krusial dalam ketentuan RUU Cipta Kerja terkait isu lingkungan hidup. Beberapa di antaranya terkait penghapusan izin lingkungan sebagai syarat penerbitan izin usaha, reduksi norma pertanggungjawaban mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi, hingga perpanjangan masa waktu perizinan kehutanan dan perizinan berbasis lahan.
Nur menyatakan beleid tersebut semakin melanggengkan dominasi modal dan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup. Di tambah lagi, kata dia, RUU Cipta Kerja mengurangi, bahkan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang peradilan dan perizinan kegiatan usaha.
"Walhi sendiri sudah secara tegas menjatuhkan mosi tidak percaya. Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan tindakan inkonstitusional dan tidak demokratis yang harus dilawan dengan sehebat-hebatnya," katanya.