
UU Ciptaker Diketok DPR: Investor Girang, Buruh Tak Senang!

Bagi para pekerja pengesahan RUU Ciptaker dianggap merugikan. Sementara bagi para pemilik modal atau investor langkah pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan yang tercermin dari inisiatif pembentukan Omibus Law patut diapresiasi.
Sebagai negara yang serba defisit baik APBN maupun transaksi berjalan, serta rendahnya domestic saving membuat RI butuh pendanaan eksternal untuk membantu mendongkrak pertumbuhan ekonominya.
Namun sayang minat investor untuk menanamkan modalnya dan membangun pabrik di RI masih tergolong rendah. Pada September tahun lalu, saat relokasi besar-besaran terjadi dari China terjadi, Indonesia tak menjadi salah satu destinasi dari pemindahan pabrik itu. Hal ini tentu membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesal.
Bank Dunia menyampaikan dari 33 industri yang relokasi dari China, sebanyak 23 pindah ke Vietnam dan 10 lainnya terpencar ke negara Asia Tenggara lain seperti Kamboja, Myanmar, Thailand dan Malaysia. Namun tak ada satu pun yang ke Indonesia.
Fenomena decoupling AS-China dan pandemi Covid-19 semakin menjadi katalis bagi relokasi pabrik keluar dari China. RI tak mau kehilangan momentum ini untuk menggaet investor asing masuk ke dalam negeri.
Meski berhasil mengantongi komitmen investasi senilai US$ 37 miliar dari beberapa investor asing seperti Korea yakni LG Electronics dan perusahaan pembuat lampu solar asal AS yaitu Alpan Lighting Product, para pemilik modal masih melihat Ri sebagai destinasi yang kurang seksi untuk investasi.
Padahal RI punya segudang keunggulan seperti kaya akan sumber daya, populasi kerja yang berada di usia produktif di tengah masa-masa menikmati bonus demografi serta pertumbuhan kelas menengah yang pesat.
Hal yang dikeluhkan oleh investor sebenarnya banyak. Namun yang jadi sorotan di antaranya adalah aturan yang tumpang tindih, birokrasi yang berbelit-belit hingga masalah di sektor ketenagakerjaan.
Para pemilik modal menilai bahwa ongkos tenaga kerja di Tanah Air tergolong mahal karena aturannya yang kaku seperti banyaknya cuti, hingga uang pesangon yang sangat memberatkan karena nominalnya setara dengan 30-32 kali gaji per bulan.
Di sisi lain investor juga mengeluhkan bahwa produktivitas tenaga kerja RI yang pertumbuhannya rendah. Data APO Labor Productivity menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas tenaga kerja RI memang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara Asia lain dan tetangganya.
Di tengah rendahnya pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, upah per tahunnya rata-rata terus bertumbuh 10-12%. Padahal pertumbuhan produktivitasnya berada di bawah pertumbuhan upah.
Melihat kebutuhan akan investasi dan meningkatkan daya saing RI pemerintah berupaya membuat pembentukan Omnibus Law atau RUU Ciptaker ini. RUU disusun menggunakan metode omnibus law terdiri 15 bab dan 174 pasal yang berdampak terhadap 123 pasal dari 79 UU terkait terbagi 7.987 DIM.
Apabila dilihat memang ada perbedaan pandangan dan kepentingan yang tidak selaras di sini. Dari sisi buruh pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU sangat memberatkan dan merugikan, sementara dari sisi pemerintah butuh untuk menarik investor dengan segera 'mumpung' ada momentum sehingga diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sementara dari pihak pemilik modal butuh efisiensi dan supply chain.
(twg/twg)