
RI Akrab dengan Deflasi, Resesi Bakal Makin Panjang?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mencatatkan deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Juli-September. Salah satu pemicu terjadinya deflasi adalah penurunan harga-harga barang pokok.
Bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat RI mengalami deflasi -0,05% (mom) akibat turunnya harga-harga bahan pokok penyusun komponen makanan, minuman dan tembakau serta transportasi seperti yang sudah-sudah sebelumnya.
Harga bahan makanan, minuman dan tembakau serta pengeluaran untuk transportasi mengalami penurunan sebesar masing-masing -0,37% (mom) dan -0,33%(mom). Adanya pembatasan aktivitas dan mobilitas publik membuat sektor transportasi tertekan, diskon tiket pesawat menjadi faktor pemicu terjadinya deflasi sektor transportasi.
Dua kelompok lain yang juga mengalami deflasi adalah kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan serta pakaian yang turun -0,01% (mom).
Untuk komponen pakaian, lemahnya permintaan masih jadi pemicu utama deflasi lantaran konsumen masih fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok dan menjauhi kerumunan dan pusat perbelanjaan.
Inflasi untuk kelompok harga volatil drop -0,6% dan inflasi untuk harga yang diatur pemerintah juga drop -0,19%. Penurunan harga pangan ini dipicu oleh turunnya harga beberapa komoditas pangan seperti harga bawang merah, daging ayam dan juga telur ayam.
Sementara itu deflasi untuk harga pangan volatil masih cukup tertahan lantaran adanya inflasi untuk komoditas minyak goreng. Kenaikan harga minyak goreng mengekor minyak nabati sawit yang juga harganya melambung.
Komponen penyumbang inflasi yang cukup besar adalah kenaikan biaya kuliah pada pos pendidikan yang naik 0,62% dan kenaikan pada pos harga-harga barang perawatan diri (personal care) yang naik 0,25%.
Secara tahunan inflasi bulan September tercatat berada di angka 1,42% (yoy) dan sepanjang tahun 2020 di 0,89%. Rendahnya inflasi terjadi karena deflasi pada pos inflasi harga diatur pemerintah dan bergejolak terutama golongan pangan serta melambatnya inflasi inti.
Inflasi inti mencerminkan tingkat daya beli masyarakat. Inflasi inti yang melambat bisa jadi cerminan bahwa daya beli masyarakat sebagai penopang ekonomi Tanah Air sedang bermasalah.
Pada September, inflasi inti sudah berada di bawah 2% atau tepatnya 1,86% (yoy). Padahal di bulan sebelumnya inflasi inti masih 2,03% (yoy).
Apabila melihat harga-harga sembako di awal Oktober ini, memang belum ada pergerakan berarti. Tren yang terlihat juga masih sama. Pada 8 September - 2 Oktober 2020, harga bawang merah dan telur ayam masih tertekan. Sementara untuk harga daging ayam naik tipis. Harga minyak goreng naik cukup tinggi.
Dengan diterapkannya PSBB terutama di DKI Jakarta, maka kunjungan masyarakat ke pusat-pusat perbelanjaan masih akan rendah. Mobilitas publik pun belum bisa diharapkan, sehingga sektor transportasi masih belum bisa pulih benar, apalagi tren kasus Covid-19 di dalam negeri masih terus naik.
Inflasi diperkirakan masih akan tetap rendah sampai dengan akhir tahun. Ada kemungkinan bahwa inflasi tetap berada di bawah 2%. Itu artinya inflasi akan berada di bawah target sasaran Bank Indonesia (BI) 3±1% untuk tahun ini.
Melihat rendahnya inflasi dibarengi dengan perlunya mendongkrak pertumbuhan ekonomi, ruang untuk pemangkasan suku bunga acuan oleh otoritas moneter Tanah Air tersebut masih terbuka.
Apalagi jika melihat secara global kebijakan moneter bank sentral AS masih akan longgar. Hal ini tercermin dari ungkapan ketua the Fed Jerome Powell yang mengatakan bakal menahan suku bunga rendah mendekati nol persen untuk jangka waktu lama setidaknya sampai 2023 (lower for longer).
Sepanjang 2020, BI baru memangkas suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin (bps), sementara the Fed sudah membabat habis suku bunga acuannya sebesar 150 bps. Artinya ada selisih 50 bps antara pelonggaran yang dilakukan BI dan the Fed.
Deflasi sepanjang kuartal III-2020 membuat pertumbuhan ekonomi periode tersebut kemungkinan negatif, karena deflasi menggambarkan kelesuan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal II-2020, ekonomi Indonesia sudah tumbuh negatif. Pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal beruntun adalah definisi resesi.
Jika konsumsi rumah tangga masih lemas pada kuartal IV-2020, maka resesi kemungkinan bisa berlangsung lebih lama. Semoga tidak sampai 'naik kelas' menjadi depresi...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Inflasi Rendah, Daya Beli Lemah, Penyakit Baru Gegara Corona