Ngeri! Gunungan Sampah Miliaran Masker Covid-19 Hantui Dunia

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 October 2020 13:28
Warga New Delhi, India, mengenakan masker di tengah pandemi covid-19. (AP/Rajesh Kumar Singh)
Foto: Warga New Delhi, India, mengenakan masker di tengah pandemi covid-19. (AP/Rajesh Kumar Singh)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di masa pandemi Covid-19, kebutuhan akan masker pelindung diri melonjak sangat signifikan seiring dengan diterapkannya protokol kesehatan di banyak negara. Meski pasokan masker global terus ditingkatkan, tetapi diperkirakan tak mampu mengimbangi kenaikan tajam permintaannya. 

Covid-19 merupakan salah satu penyakit ganas yang menyerang sistem pernapasan. Sebelum menjadi pandemi, penggunaan masker hanya diperuntukkan bagi tenaga medis maupun seseorang yang sakit. 

Jumlah penderita Covid-19 yang terus bertambah sehingga membuat rumah sakit membludak dengan pasien di banyak negara termasuk Indonesia. Konsumsi masker setiap harinya terus bertambah.

Menurut catatan WHO, saat ini ada 43 juta tenaga medis di seluruh dunia. Masker secara umum hanya direkomendasikan untuk digunakan dengan durasi efektif 4 jam saja. 

Setelah itu masker harus segera diganti. Apabila sepertiga tenaga medis berada di garda terdepan berperang melawan Covid-19 maka kebutuhan untuk masker diperkirakan mencapai 28 juta unit per harinya. 

Angka tersebut belum memperhitungkan para perawat serta orang yang diduga menderita Covid-19. Jika dua orang ini dihitung maka kebutuhan masker bakal bertambah 12 juta unit per hari menjadi 40 juta unit. 

Namun setelah WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi, kini semua orang wajib menggunakan masker ketika keluar rumah atau berada di ruang publik. Bayangkan saja, populasi manusia di muka bumi ini ada 7,8 miliar orang.

Maka berapa banyak kebutuhan masker per harinya? Tentu sangatlah banyak kalau dihitung. Tengok saja China, pada April lalu ketika wabah sudah cenderung berhasil dijinakkan, masyarakat Negeri Tirai Bambu dilaporkan membuang 1 miliar unit masker setiap harinya. Total populasi China saat ini ada 1,3 miliar. 

Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memperkirakan penjualan masker di tahun 2020 bakal mencapai 200 kali lipat lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelum pandemi melanda.

Total nilai penjualannya diestimasi mencapai US$ 166 miliar secara global, setara dengan Rp 2,457 triliun (asumsi kurs Rp 14.800/US$). Sebuah angka yang fantastis tentunya jika berkaca pada tahun sebelumnya hanya di bawah US$ 1 miliar saja.

Berbagai negara terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas produksi maskernya. Namun tetap saja, kebutuhan untuk masker medis masih lebih tinggi dari pada permintaannya. 

Organisasi negara-negara maju (OECD) melaporkan, sebagai produsen masker terbesar di dunia dengan pangsa ekspor mencapai lebih dari 40% dan setara dengan setengah dari total produksi global masih harus mengimpor masker untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.

Padahal China sudah tercatat berulang kali meningkatkan kapasitas produksinya. Pada Januari 2020, China mampu menghasilkan masker sebanyak 20 juta unit per harinya. Kemudian di bulan Februari China meningkatkan produksinya menjadi hampir enam kali lipat atau sebanyak 116 juta unit per hari.

Saat wabah di China mencapai puncak, kapasitas produksi Negeri Panda mencapai 200 juta unit per hari atau 10 kali lipat dari total output awal. Tingginya permintaan ini juga menjadi peluang bisnis. Bahkan bagi sektor yang awalnya tak berkaitan pun sampai turun tangan untuk menggarap produksi masker guna memenuhi kebutuhan.

Produsen mobil BYD, perusahaan patungan antara SAIC dan General Motors, DaddyBaby (produsen perlengkapan bayi), Foxconn (perusahaan yang memproduksi iPhone untuk Apple), dan China Petroleum and Chemical adalah contoh perusahaan yang mulai memproduksi masker wajah dengan skala besar yaitu lebih dari 1 juta per hari.

Upaya yang sama juga dilakukan oleh beberapa negara lain seperti Perancis yang meningkatkan kapasitas produksinya menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya. Saking menjanjikannya pasar masker, membuat pelaku usaha skala kecil pun tak mau kehilangan momentum.

Breakingviews melaporkan untuk satu usaha skala kecil bisa membuat pabrik masker dengan biaya US$ 200 ribu. Namun sayang seribu sayang, masker yang diproduksi seringkali tak memenuhi standard keamanan dan kelayakan. 

Minimnya pasokan di tengah membludaknya permintaan juga memicu berbagai aksi spekulasi dari berbagai pihak. Banyak yang membeli masker dengan jumlah banyak untuk ditimbun sehingga kemudian hari bisa dijual dengan harga yang jauh lebih mahal.

Sebagai barang yang fungsinya krusial di tengah pandemi, wajar saja jika perilaku trade protectionism sangat terlihat. Banyak negara yang membatasi ekspor maskernya selama pandemi Covid-19 berlangsung.

Menurut catatan ITC & WTO, per 14 April 2020 ada lebih dari 40 negara yang memberlakukan larangan ekspor masker dan membatasinya ke luar negeri termasuk salah satunya adalah Indonesia. 

Jika mengacu pada keterangan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasastimata Juni lalu, Indonesia memproduksi 3 juta unit masker N95 dan 4,7 miliar buah masker bedah per tahun atau setara dengan 12,9 juta unit per hari. 

Dalam kondisi normal jumlah tersebut melampui kebutuhan yang hanya 172,2 juta per tahun. Namun akibat lonjakan Covid-19 di RI, kebutuhan masker juga ikut naik tajam. 

Di tengah tingginya permintaan dan penggunaan masker terutama masker bedah dan N95 yang berbahan dasar turunan minyak (polipropilen), dampak lingkungan yang serius menjadi konsekuensi yang harus ditanggung. Pasalnya limbah medis tersebut akan mencemari tanah, sungai bahkan hingga ke lautan.

Jika data historis merupakan indikator yang andal, diperkirakan sekitar 75% masker bekas, serta limbah terkait pandemi lainnya, akan berakhir di tempat pembuangan sampah, atau terapung di laut.

Selain kerusakan lingkungan, ongkos kerugian yang harus ditanggung di bidang-bidang seperti pariwisata dan perikanan, diperkirakan sekitar US$ 40 miliar oleh Program Lingkungan PBB (UNEP). 

"Polusi plastik sudah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi planet kita sebelum wabah virus corona," kata Pamela Coke-Hamilton, direktur perdagangan internasional UNCTAD.

"Lonjakan tiba-tiba dalam penggunaan produk tertentu setiap hari untuk membuat orang tetap aman dan menghentikan penyakit semakin memperburuk keadaan." tambahnya, melansir World Economic Forum.

Dikhawatirkan membludaknya limbah plastik terkait masker dan peralatan medis lain yang terkait Covid-19 ini akan menyebabkan dampak kesehatan dan lingkungan yang luar biasa besar di kemudian hari.

Oleh karena itu butuh pengelolaan limbah yang terpadu untuk mencegah hal tersebut terjadi. Ini semua tentu adalah tanggung jawab setiap negara di dunia ini. Jangan sampai limbah dari pandemi ini berbuntut menjadi mala petaka di masa depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular