
Ngeri! Gunungan Sampah Miliaran Masker Covid-19 Hantui Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Di masa pandemi Covid-19, kebutuhan akan masker pelindung diri melonjak sangat signifikan seiring dengan diterapkannya protokol kesehatan di banyak negara. Meski pasokan masker global terus ditingkatkan, tetapi diperkirakan tak mampu mengimbangi kenaikan tajam permintaannya.
Covid-19 merupakan salah satu penyakit ganas yang menyerang sistem pernapasan. Sebelum menjadi pandemi, penggunaan masker hanya diperuntukkan bagi tenaga medis maupun seseorang yang sakit.
Jumlah penderita Covid-19 yang terus bertambah sehingga membuat rumah sakit membludak dengan pasien di banyak negara termasuk Indonesia. Konsumsi masker setiap harinya terus bertambah.
Menurut catatan WHO, saat ini ada 43 juta tenaga medis di seluruh dunia. Masker secara umum hanya direkomendasikan untuk digunakan dengan durasi efektif 4 jam saja.
Setelah itu masker harus segera diganti. Apabila sepertiga tenaga medis berada di garda terdepan berperang melawan Covid-19 maka kebutuhan untuk masker diperkirakan mencapai 28 juta unit per harinya.
Angka tersebut belum memperhitungkan para perawat serta orang yang diduga menderita Covid-19. Jika dua orang ini dihitung maka kebutuhan masker bakal bertambah 12 juta unit per hari menjadi 40 juta unit.
Namun setelah WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi, kini semua orang wajib menggunakan masker ketika keluar rumah atau berada di ruang publik. Bayangkan saja, populasi manusia di muka bumi ini ada 7,8 miliar orang.
Maka berapa banyak kebutuhan masker per harinya? Tentu sangatlah banyak kalau dihitung. Tengok saja China, pada April lalu ketika wabah sudah cenderung berhasil dijinakkan, masyarakat Negeri Tirai Bambu dilaporkan membuang 1 miliar unit masker setiap harinya. Total populasi China saat ini ada 1,3 miliar.
Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memperkirakan penjualan masker di tahun 2020 bakal mencapai 200 kali lipat lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelum pandemi melanda.
Total nilai penjualannya diestimasi mencapai US$ 166 miliar secara global, setara dengan Rp 2,457 triliun (asumsi kurs Rp 14.800/US$). Sebuah angka yang fantastis tentunya jika berkaca pada tahun sebelumnya hanya di bawah US$ 1 miliar saja.
Berbagai negara terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas produksi maskernya. Namun tetap saja, kebutuhan untuk masker medis masih lebih tinggi dari pada permintaannya.
Organisasi negara-negara maju (OECD) melaporkan, sebagai produsen masker terbesar di dunia dengan pangsa ekspor mencapai lebih dari 40% dan setara dengan setengah dari total produksi global masih harus mengimpor masker untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.
Padahal China sudah tercatat berulang kali meningkatkan kapasitas produksinya. Pada Januari 2020, China mampu menghasilkan masker sebanyak 20 juta unit per harinya. Kemudian di bulan Februari China meningkatkan produksinya menjadi hampir enam kali lipat atau sebanyak 116 juta unit per hari.
Saat wabah di China mencapai puncak, kapasitas produksi Negeri Panda mencapai 200 juta unit per hari atau 10 kali lipat dari total output awal. Tingginya permintaan ini juga menjadi peluang bisnis. Bahkan bagi sektor yang awalnya tak berkaitan pun sampai turun tangan untuk menggarap produksi masker guna memenuhi kebutuhan.
Produsen mobil BYD, perusahaan patungan antara SAIC dan General Motors, DaddyBaby (produsen perlengkapan bayi), Foxconn (perusahaan yang memproduksi iPhone untuk Apple), dan China Petroleum and Chemical adalah contoh perusahaan yang mulai memproduksi masker wajah dengan skala besar yaitu lebih dari 1 juta per hari.
Upaya yang sama juga dilakukan oleh beberapa negara lain seperti Perancis yang meningkatkan kapasitas produksinya menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya. Saking menjanjikannya pasar masker, membuat pelaku usaha skala kecil pun tak mau kehilangan momentum.
Breakingviews melaporkan untuk satu usaha skala kecil bisa membuat pabrik masker dengan biaya US$ 200 ribu. Namun sayang seribu sayang, masker yang diproduksi seringkali tak memenuhi standard keamanan dan kelayakan.
Minimnya pasokan di tengah membludaknya permintaan juga memicu berbagai aksi spekulasi dari berbagai pihak. Banyak yang membeli masker dengan jumlah banyak untuk ditimbun sehingga kemudian hari bisa dijual dengan harga yang jauh lebih mahal.