Impor, Impor, Impor! Pengusaha Tekstil Terus Gelisah

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
02 October 2020 18:40
Pagebluk Covid-19 menjadi masa paling suram bagi Yani, pengusaha konveksi pakaian asal Jakarta, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bagaimana tidak, omset usaha yang dirintisnya sejak dulu menurun dengan sejumlah order atau pesanan dibatalkan. (7/7/20). CNBC Indonesia/Tri Susilo
Foto: Penjahit Seragam Sekolah (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) termasuk di sektor hulu seperti benang masih mengeluhkan adanya gangguan produk impor. Masih ada persoalan tak harmoninya kebijakan sehingga ada industri yang kena dampak.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta merasa heran dengan langkah pemerintah dalam menentukan kebijakan relaksasi impor, pada produk TPT.

"Relaksasi agak aneh, pemerintah dari sisi kebijakan perdagangan justru yang diberikan relaksasi impor. Kalau relaksasi impor diberikan, produsennya mau kayak gimana? Dalam negeri masih fight untuk dapat pasar domestik, ketika ekspor sedang sulit tapi justru pemerintah memberi relaksasi impor. Kita ingin pemerintah memberi jaminan pasar domestik untuk produk dalam negeri," katanya dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, Jumat (2/10).

Kekesalan Redma tidak lepas dari sejumlah kebijakan relaksasi impor bahan baku yang terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, antara lain revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 85 tahun 2015 menjadi Permendag No. 64 tahun 2017 dan terakhir menjadi Permendag no. 77 tahun 2019. Untuk diketahui, kebijakan tersebut diambil pada masa mendag sebelumnya.

Ia menilai, dengan kebijakan itu produk impor berpotensi membanjiri Indonesia. Padahal, produsen dalam negeri dinilainya masih bisa memenuhi permintaan.

"Oke kalau produk itu belum dibuat, pemerintah boleh kasih relaksasi impor, tapi saya lihat beberapa produk yang kita bisa produksi justru diberikan relaksasi impor. Ini jadi hal beban bagi kami bersaing di tengah pandemi dengan barang impor yang murah," sebut Redma.

Redma mengakui dukungan terhadap industri dalam negeri dari pemerintah memang ada. Namun sayangnya tidak begitu terasa saat ini seperti turunnya harga gas, di lapangan kenyataannya tak seindah di atas kertas. 

"Ada charge minimal konsumsi. Dimana sekarang hampir semuanya di bawah minimal konsumsi karena belum full utilisasinya. Artinya harga gas 6 dolar per mmbtu tapi kena charge penalti, tetap saja kena 9 dolar. Beberapa perusahaan yang utilisasi di atas masih sedikit terasa manfaat. Yang lain saya kira nggak ada lagi yang (merasakan)," sebut Redma.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kasus Tekstil Impor, 7 Pejabat Bea Cukai Diperiksa Kejagung

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular