
Bank Dunia Sebut RI Tak Cukup Andalkan RUU Cipta Kerja

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia menilai reformasi regulasi berbagai macam usaha di Indonesia lewat Omnibus Law Cipta Kerja dinilai tepat untuk mendorong perekonomian Indonesia di tengah pandemi covid-19. Namun, perlu upaya ekstra dari pemerintah untuk mengimplementasikan undang-undang ini.
Chief Economist for Asia and the Pacific World Bank Aaditya Mattoo menjelaskan upaya pemerintah Indonesia dalam merancang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) sudah tepat. Namun, yang perlu jadi perhatian adalah implementasi, Indonesia juga perlu memperbaiki simpul-simpul perdagangan. Disamping itu juga, Indonesia merupakan salah satu negara yang bertopang dari sektor manufaktur.
"Kabar baik, pemerintah sudah merancang omnibus law [RUU Cipta Kerja], yang di dalamnya telah memasukkan banyak reformasi berusaha untuk meningkatkan daya saing berusaha. Tapi perlu upaya ekstra lagi," ujar Mattoo dalam video conference, Selasa (29/8/2020).
"Karena Indonesia merupakan salah satu negara eksportir dalam perdagangan, perlu juga memperbaiki standar perdagangan. Misalnya mengenai biaya pelabuhan, yang merupakan salah satu bagian di dalam perdagangan internasional," kata Mattoo melanjutkan.
Sebelumnya, dalam laporan bertajuk 'Indonesia Economic Prospects' yang diterbitkan Juli lalu, Bank Dunia menilai melalui RUU Omnibus Law Ciptaker, bisa membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk bisa bangkit kembali. Pada masa krisis, perusahaan akan memerlukan dukungan untuk memulai kembali bisnisnya dan memperluas produksi.
Menurut Bank Dunia, RUU Ciptaker saat ini memiliki potensi untuk mendukung pemulihan pasca covid-19 dalam waktu dekat, sembari pemerintah menetapkan fondasi untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih cepat.
Bank Dunia merinci, Omnibus Law Ciptaker bisa memberikan sinyal kepada pengusaha dunia bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis dengan menghapus pembatasan investasi, termasuk praktik diskriminatif terhadap investor asing dalam undang-undang sektoral.
"Penghapusan batas ekuitas asing dapat memicu tambahan investasi US$ 6,8 miliar. RUU ini akan meningkatkan lingkungan perdagangan dan meningkatkan partisipasi perusahaan lokal dalam rantai nilai global yang bergantung pada impor-ke-ekspor," jelas Bank Dunia.
Namun, Bank Dunia menyebut bahwa RUU Omnibus Law bisa merugikan, terutama di Indonesia dalam hal sumber daya alam.
Pasalnya, di dalam RUU Omnibus Law Ciptaker, merelaksasi persyaratan untuk perlindungan lingkungan yang bisa merusak aset alam, yang saat ini sumber daya alam merupakan sebagai mata pencaharian banyak masyarakat dan tentu ini berdampak negatif pada investasi.
"Upaya pemerintah di bidang ini ditargetkan untuk mengurangi keterlambatan izin investasi. Namun, penyebab keterlambatan dan ketidakpastian saat memperoleh izin lingkungan adalah proses yang rumit dan implementasi yang sewenang-wenang dan korup," tulis Bank Dunia.
Selain itu, RUU menghapus prinsip keselamatan dari beberapa undang-undang yang mengatur perizinan kegiatan berisiko tinggi dan produk, seperti obat-obatan, rumah sakit, dan konstruksi bangunan, dan tidak lagi menganggapnya sebagai risiko tinggi.
Beberapa pasal RUU Omnibus Law Ciptaker yang diusulkan dari UU Ketenagakerjaan, dapat mengurangi perlindungan para pekerja.
Misalnya saja, adanya usulan pembebasan luas dari kepatuhan upah minimum dan reformasi untuk menghapuskan pembayaran pesangon tanpa proposal yang lengkap untuk tunjangan pengangguran yang efektif dan skema asuransi.
"Hal itu dapat melemahkan perlindungan pekerja dan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Ini khususnya bermasalah pada saat pengangguran meningkat karena krisis covid-19," katanya.
Masih di dalam RUU Omnibus Law Ciptaker, reformasi hukum ketenagakerjaan tampak dinilai kurang penting oleh pemerintah, dan lebih mengedepankan pada reformasi perdagangan dan investasi untuk stimulasi investasi baru.
"Undang-undang dan kebijakan terbaru lainnya, dari penambangan hingga pertanian, juga berisiko menimbulkan efek spillover negatif bagi masyarakat," jelas Bank Dunia.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fakta Omnibus Law: Pesangon Dipotong Sampai Outsourcing