
Bahaya Laten di Balik Kesulitan Maskapai Bayar Sewa Pesawat

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah maskapai penerbangan Indonesia mulai kesulitan membayar sewa pesawat. Hal ini membuat lessor memperkarakan ke ranah hukum dan berpotensi membuat maskapai pailit.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association, Bayu Sutanto, menjelaskan bahwa perusahaan lessor atau penyewaan pesawat di dunia juga mengalami masalah yang sama.
"Lessor di dunia pun juga lagi ada masalah juga. Jadi ini jadi dispute, karena di perjanjian sewa atau lease agreement tidak ada klausul kahar atau force majeure," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (25/9/20).
Dengan begitu, pada umumnya para rental pesawat ini mengacu pada perjanjian dengan airline yang disepakati sebelum ada pandemi Covid-19. Di sisi lain, maskapai tentu kesulitan memenuhi tanggung jawab bayar sewa pesawat jika kondisi penerbangan belum kembali normal.
Bayu mengaku, sebenarnya ada wacana mengenai perumusan regulasi perdata internasional mengenai kerja sama antara maskapai dengan rental pesawat. Dia menjelaskan, hukum perdata di Indonesia belum memadai untuk mengakomodasi kasus-kasus seperti yang terjadi saat ini.
"Kebetulan di Indonesia ini hukum perdatanya kan masih ketinggalan menggunakan kitab undang-undang hukum dagang tahun 1800-an dan perdata internasional juga belum diatur. Waktu itu sempat kita diskusikan dengan Kemenkumham mengenai rencana membuat draf undang-undang perdata internasional," kata Bayu.
Sayangnya, wacana tersebut sampai saat ini tak kunjung terealisasi. Alhasil, dalam sejumlah kasus umumnya lessor menuntut maskapai pailit karena tak mampu membayar utang.
"Saat ini yang ada yang banyak digunakan oleh lessor akhirnya mereka mengajukan kepailitan kepada airline karena tidak mampu bayar. Tapi apakah seperti itu pilihan terbaiknya. Kalau itu yang diambil ya banyak maskapai akan tidak bisa bertahan," ujar Bayu.
Belakangan, gejala-gejala tersebut sudah mulai terjadi. Dikatakan bahwa jika maskapai mulai kesulitan membayar uang sewa, lessor meminta pesawat dilakukan grounded. Dalam waktu tertentu, jika pembayaran sewa tak kunjung dilakukan maka bisa berujung ke meja hijau. Namun, semua ini juga tergantung pada negosiasi antara kedua belah pihak.
"Yang normatif tentu negosiasi dengan pihak lessor. Memohon untuk penundaan atau restrukturisasi utang. Karena dari perjanjian itu, karena tidak dibayar akhirnya menjadi utang, secara perdata seperti itu," katanya.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Novie Riyanto buka suara mengenai hal ini. Dia tak memungkiri bahwa jika maskapai ramai-ramai mengalami pailit, maka iklim bisnis penerbangan Indonesia akan ikut terkena dampaknya. Kendati demikian, mengenai persoalan antara lessor dan airline, menurutnya adalah urusan business to business.
"Itu kan sifatnya B to B, untuk saat ini memang pemerintah Indonesia melalui APBN tidak bisa masuk ke sana," ujar Novie kepada CNBC Indonesia, Senin (28/9/20).
Sebenarnya, Kemenhub juga tengah sedang pembahasan mengenai nasib bisnis penerbangan dalam negeri ke depan. Hanya saja, skema bantuan suntikan modal dari APBN, tak bisa diberikan kepada swasta meskipun tujuannya untuk menyelamatkan industri penerbangan Tanah Air.
"Yang kita bisa maksimal itu kan masuk ke BUMN. Tapi swasta kan blm bisa karena kita belum ada mekanismenya bagaimana APBN bisa masuk ke hal yang seperti itu," kata Novie.
"Misalnya kita ke airline A, kita nggak ada mekanismenya masuk ke sana. Kami di Kementerian Perhubungan tidak mempunyai kewenangan ke sana," lanjutnya.
Kendati demikian, pihaknya terus merumuskan skema berupa insentif yang bisa mendukung kelangsungan bisnis maskapai. Sejauh ini, bantuan yang mungkin untuk direalisasikan adalah biaya PSC.
"Jadi yang bisa kita lakukan maksimal contoh saja untuk pariwisata, kita bisa memberikan PSC kepada penumpang sehingga animo masyarakat untuk menggunakan transportasi udara bisa kembali lagi," lanjutnya.
Di sisi lain, stimulus penerbangan yang disiapkan pemerintah juga tak kunjung terealisasi. Ia menjelaskan bahwa pihaknya masih tersisa mengajukan skema insentif kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Rencana realisasi insentif yang dijadwalkan mulai bulan lalu, hingga saat ini tak juga terlaksana.
"Mundur jadi Oktober. Sedangkan insentif ini kan kami tidak bisa membayar dari Januari atau Maret karena itu tidak bisa berlaku surut. Dia hanya bisa berlaku untuk pembayaran ke depan," ujarnya.
Pada usulan sebelumnya, Kemenhub mencatat setidaknya butuh Rp 370 miliar untuk dibagikan kepada industri penerbangan dalam periode Agustus-Desember 2020.
Secara perinci, total usulan biaya stimulus transportasi udara mencapai Rp 370.431.163.000. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 91.120.688.000 digunakan sebagai pelaksanaan kalibrasi fasilitas keselamatan penerbangan.
Insentif ini diberikan kepada sejumlah stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan kalibrasi fasilitas navigasi penerbangan dan pendaratan untuk keselamatan penerbangan seperti LPPNPI atau AirNav, PT AP I dan PT AP II. Anggaran untuk insentif ini sudah ditelaah di DJA Kemenkeu tanggal 4 Agustus 2020 dengan kebutuhan Rp 91.120.688.000.
Stimulus berikutnya adalah pembebasan biaya PJP2U ataupun PSC untuk calon penumpang pesawat udara. Rencana pemberian stimulus bagi pengguna transportasi udara dengan total asumsi sebanyak 2.593.607 penumpang.
Angka ini dengan mempertimbangkan data peningkatan pengguna jasa transportasi udara di 13 lokasi Bandar Udara pendukung destinasi pariwisata seperti wilayah Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Likupang, Bali, Banyuwangi, dan Kep. Riau. Kebutuhan anggarannya sebesar Rp.279.310.475.000, namun belum ditelaah oleh Kemenkeu.
Kini, angka-angka tersebut berubah seiring dengan pembahasan yang masih berlangsung. Novie berharap segera mendapatkan angka final untuk direalisasikan.
"Kami lagi mengajukan lagi, yang kita ajukan ada dua hal. Yang pertama tujuannya untuk merangsang tourism lagi khususnya untuk domestik. Kita kemarin rencananya mau memberikan insentif untuk PSC di 13 bandara yang untuk pariwisata. Ini mudah-mudahan segera final di Kementerian Keuangan," kata Novie.
"Jadi ada dua, yang pertama PSC, yang kedua adalah biaya kalibrasi ke AirNav. Besarannya lagi kami hitung, mudah-mudahan segera final dan kami berharap sekali, paling tidak Oktober ini bisa segera dicairkan," lanjutnya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Habib Rizieq Pulang, Kemenhub: Penerbangan Delay 1-2 Jam