
Kondisi Migas Kini vs Era 1970-an 'Bagai Siang dan Malam'

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Pertambangan dan Energi ke-9 RI periode 1978-1988 Subroto buka-bukaan mengenai perbedaan kondisi sektor minyak dan gas (migas) pada era 1970-an dan kini yang dianggap sangat jauh berbeda. Bahkan, dia menyebut perbedaannya "bagai siang dan malam".
Dalam wawancara khusus bersama CNBC Indonesia, Senin (28/09/2020) Subroto menuturkan pada 1970-an produksi minyak mencapai 1,7 juta barel per hari (bph). Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan produksi minyak saat ini yang hanya mencapai sekitar 700-an ribu bph. Apalagi, lanjutnya, ditambah adanya pandemi Covid-19 yang membuat produksi minyak semakin anjlok.
"Perbedaannya adalah seperti siang dan malam. Lebih-lebih lagi dengan adanya Covid-19, perbedaannya sangat besar. Tahun 70-an industri migas Indonesia masih produksi 1,7 juta barel per hari. Sekarang, produksinya jauh di bawah, hanya sekitar 700 ribu barel (per hari) saja," paparnya kepada CNBC Indonesia, Senin (28/09/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan, perbedaan kedua adalah pada 1970-an sumber daya fosil masih menjadi sumber energi utama. Sementara saat ini muncul sumber energi baru dan terbarukan dan munculnya aspek negatif dari pengembangan dan pemanfaatan hidrokarbon.
"Sekarang adanya renewable energy dan timbulnya aspek negatif hidrokarbon, maka peranan industri migas sangat menurun, terutama karena adanya kesepakatan di Paris di mana ada hubungan antara energi dengan climate change (perubahan iklim)," jelasnya.
Perbedaan ketiga, lanjutnya, yaitu adanya transisi dari fosil ke energi baru terbarukan, di mana transisi ini butuh waktu, pikiran dan ongkos. Oleh karena itu, menurutnya dalam suasana seperti saat ini maka perlu adanya gotong royong dari berbagai pihak untuk mendukung sektor energi di Tanah Air.
"Kita harus gotong royong untuk bisa menyediakan energi yang cukup untuk nantinya bisa menjadi negara maju. Kita harus gotong royong. Masyarakat juga harus ikut memikirkan masalah energi dan pemerintah tidak terlalu menolak kalau ada pikiran-pikiran dari masyarakat. Kita harus bersama-sama untuk bisa menjadi Indonesia maju pada 2050," jelasnya.
Berdasarkan data SKK Migas, lifting minyak nasional hingga 31 Agustus 2020 mencapai 706,9 ribu barel per hari (bph), sedikit lebih tinggi dari target yang direvisi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBNP) 2020 sebesar 705 ribu bph.
Sedangkan untuk realisasi salur gas hingga Agustus 2020, SKK Migas mencatat salur gas sebesar 5.516 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 99,3 persen dari target APBN-P yakni 5.556 MMSCFD.
Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi, pemerintah pada awalnya menargetkan lifting minyak dalam APBN 2020 sebesar 755 ribu bph dan lifting gas sebesar 6.670 MMSCFD.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada pekan lalu mengatakan pihak SKK Migas dan perusahaan migas atau dikenal dengan istilah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengatakan telah sepakat untuk mencapai target lifting minyak sebesar 705.000 barel per hari (bph) dan lifting gas sebesar 5.638 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2021.
Dengan demikian, produksi migas nasional pada tahun depan menurutnya tidak mengalami penurunan, sehingga dapat memenuhi target yang ditetapkan. Berdasarkan usulan KKKS dalam pre Rencana Kerja dan Anggaran (WP&B) 2021, pihaknya mengidentifikasi perlunya langkah-langkah tambahan agar target lifting itu tercapai.
"Oleh karena itu, SKK Migas tadi mempersilahkan KKKS segera mengajukan rencana tambahan, dan kami akan memproses lebih cepat. Harapannya, mulai awal 2021 semua kegiatan sudah bisa dilaksanakan sehingga target dapat dicapai," tuturnya dalam keterangan resmi SKK Migas pada Rabu (23/09/2020).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pandemi Covid-19 Masih Ganas, ESDM Ngotot Lelang 10 WK Migas