
Wow, Jepang Luncurkan Proyek Carbon Storage Perdana di RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua perusahaan Jepang akan melaksanakan proyek percontohan untuk menyimpan karbon dioksida (carbon storage) jauh di dalam permukaan tanah mulai tahun depan di Indonesia. Hal ini sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dikutip dari Japan Times pada Senin (21/09/2020), dua perusahaan Jepang tersebut yaitu Electric Power Development Co., yang dikenal sebagai J-Power, dan perusahaan konsultan Japan NUS Co. Kedua perusahaan ini akan memulai proyek carbon storage di Lapangan Gas Gundih, Provinsi Jawa Tengah, melalui kerja sama dengan pemerintah Indonesia dan perusahaan minyak milik negara PT Pertamina (Persero).
Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang pada Mei lalu telah memilih proposal bisnis kedua perusahaan itu sebagai proyek penelitian infrastruktur yang bertujuan untuk diterapkan pada apa yang disebut sebagai 'Joint Crediting Mechanism' atau 'Mekanisme Pemberian Kredit Bersama', yang menganggap kontribusi Jepang terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca di negara lain sebagai pengurangan emisi negaranya sendiri.
"Ini akan menjadi proyek percontohan pertama yang diasumsikan mengikuti program perdagangan emisi karbon dioksida yang dicanangkan pemerintah," tutur Kementerian Perdagangan Jepang seperti ditulis Japan Times.
Pipa gas dengan panjang sekitar 4 kilo meter (km) akan dipasang di antara lapangan gas dan lokasi penyimpanan karbon dioksida, di mana operator proyek akan menggali lubang hingga kedalaman sekitar 3,6 km untuk mencapai akuifer bawah tanah.
Total biaya untuk proyek carbon storage ini diperkirakan mencapai miliaran yen.
Karbon dioksida yang dihasilkan dalam proses pemurnian gas di Lapangan Gundih diperkirakan mencapai sekitar 300.000 ton dan itu akan menyebar ke udara setiap tahun, menurut J-Power.
"Karena rasio kandungannya yang sangat rendah di udara, cukup sulit untuk mengumpulkan CO2 secara efektif dari udara, tetapi kondisi untuk mengumpulkan CO2 secara efisien sudah diatur di sana di Gundih," kata seorang pejabat hubungan masyarakat J-Power kepada Japan Times.
"Jadi kami dapat mengatakan lokasi tersebut cocok untuk proyek CCS (Carbon Capture and Storage) ini," kata pejabat itu.
Jepang akan terus mendukung upaya pengurangan emisi serupa di negara-negara Asia lainnya, yang ketergantungan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil relatif tinggi, kata seorang pejabat Kementerian Perdagangan Jepang.
Proyek itu akan "memberikan kesempatan bagi perusahaan domestik untuk mempromosikan teknologi tingkat tinggi mereka" untuk mengurangi emisi karbon dioksida, kata pejabat itu.
Hasil dari proyek percontohan lain yang diadakan di Hokkaido sejak 2012 hingga tahun lalu menunjukkan bahwa penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida menelan biaya sekitar ¥ 6.000 per ton atau sekitar US$ 57 atau setara Rp 838 ribu (asumsi kurs Rp 14.700 per US$) per ton hingga ¥ 7.000 per ton, menurut pejabat tersebut.
Pemerintah Jepang mengharapkan proyek CCS ini bisa dikomersialkan paling cepat pada 2030, tetapi kelayakan dalam skala bisnis ini tergantung pada apakah manfaat yang diperoleh dari perdagangan kredit emisi gas rumah kaca ini akan mengimbangi biayanya.
Menurut International Energy Agency (IEA), persentase pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, yang dianggap menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per pembangkit listrik daripada sumber energi lainnya, relatif tinggi di negara-negara Asia.
Data IEA terbaru menunjukkan bahwa pembangkit listrik yang menggunakan batu bara mencakup sekitar 70% dari seluruh listrik pada 2018 di China dan India, lebih dari setengahnya di Indonesia, dan lebih dari 40 persen di Malaysia dan Filipina, dibandingkan dengan rata-rata dunia sekitar 38%
IEA telah mengatakan dalam sebuah laporan bahwa 14% pengurangan emisi kumulatif dari 2014 harus berasal dari CCS guna mencapai target pada 2060 yang telah ditetapkan dalam perjanjian perubahan iklim di Paris pada 2015 lalu.
Sebagai pihak yang ikut menandatangani perjanjian Paris ini, Jepang terus menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun fiskal 2030 dari tingkat tahun fiskal 2013 di tengah kritik internasional bahwa Jepang tidak cukup berbuat untuk melawan pemanasan global.
Indonesia telah menetapkan target penurunan setidaknya 29% dari level bisnis biasa (business-as-usual).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kurangi Emisi CO2, ADNOC & Total Garap Proyek Carbon Capture