Aturan Pajak Karbon Dinilai Bisa Dorong Pengembangan EBT

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
14 September 2020 15:17
PLTU Tanjung Jati B yang merupakan salah satu pembangkit yang paling diandalkan oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik sistem interkoneksi Jawa-Bali.

PLTU Tanjung Jati B memegang peran sentral dalam sistem interkoneksi Jawa-Bali


Hingga triwulan III 2019, PLTU dengan kapasitas 4 x 710 MW ini memiliki kesiapan produksi listrik (Equivalent Availability Factor – EAF) hingga 93,6% selama setahun.

Sejak pertama kali beroperasi pada tahun 2006 PLTU Tanjung Jati B menjadi tulang punggung kelistrikan Jawa-Bali. 

PLTU Tanjung Jati B berkontribusi 12% atau  setara dengan kebutuhan listrik sekitar 5 juta pelanggan rumah tangga

Keberadaan pembangkit ini diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi  kontinyuitas suplai listrik, namun juga turut membantu pemerintah dalam penghematan APBN.


Secara produksi listrik PLTU Tanjung Jati B mampu berkontribusi sebesar 12% atau setara denagan kebutuhan listrik sekitar 5 juta pelanggan rumah tangga.  (CNBC Indonesia/Peti)
Foto: PLTU Tanjung Jati B di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. (CNBC Indonesia/Peti)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah menerbitkan peraturan terkait penerapan pajak karbon dinilai bisa mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) nasional. Pasalnya, pajak karbon bisa menambah biaya energi fosil seperti batu bara yang merupakan sumber energi termurah untuk pembangkit listrik. Dengan demikian, diharapkan harga EBT nantinya mampu bersaing dengan harga energi fosil.

Hal ini diungkapkan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral F.X. Sutijastoto kepada CNBC TV Indonesia dalam rubrik Energy Corner, Senin (14/09/2020).

Dia mengatakan, biaya produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara merupakan paling murah dibandingkan sumber energi lainnya, terutama bila dibandingkan dengan pembangkit energi baru terbarukan. Hal ini menurutnya tak lain karena biaya eksternalitas dari PLTU seperti adanya polusi udara sampai saat ini belum dimasukkan ke dalam harga listrik berbahan bakar batu bara dan belum ditanggung oleh pihak pengembang PLTU.

Dengan demikian, menurutnya ini lah yang membuat pembangkit energi baru terbarukan masih kalah kompetitif dari sisi keekonomiannya bila dibandingkan pembangkit berbahan bakar fosil. Jika biaya polusi dimasukkan ke dalam harga listrik PLTU seperti halnya di negara-negara maju, maka menurutnya akan berdampak pada lebih kompetitifnya pembangkit EBT.

"Pembangunan PLTU memang murah, karena dalam pembangunan PLTU belum menanggung biaya eksternal waste yakni biaya polusi. Kalau biaya polusi ini dimasukkan seperti di negara-negara maju, harga panas bumi atau harga renewable energi lainnya menjadi lebih kompetitif," jelasnya dalam wawancara khusus bersama CNBC Indonesia, Senin, (14/09/2020).

Dia mengatakan saat ini pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang mendorong adanya Peraturan Presiden (Perpres) terkait pajak karbon ini sehingga biaya polusi yang dihasilkan akan ditanggung oleh pengembang PLTU.

"Nah inilah yang Menteri KLHK sedang dorong, adanya Perpres pajak karbon. Ini yang akan mengupayakan ada biaya polusi ditanggung pembangkit fosil," ujarnya.

Dia pun menuturkan pemerintah optimis target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025 bakal tercapai, meski hingga akhir tahun lalu capaiannya baru sekitar 9,15%. Artinya, banyak tantangan yang akan dihadapi pemerintah untuk bisa mengejar target bauran energi 23% tersebut.

Menurutnya pemerintah akan melakukan sejumlah upaya agar target bauran EBT 23% pada 2025 ini dapat tercapai, salah satunya yaitu berupaya menurunkan biaya energi baru terbarukan sehingga tarif EBT nantinya bisa masuk secara skala keekonomian yang wajar.

Untuk mengejar itu, kebijakan harga dari Menteri ESDM tidak lagi dalam Peraturan Menteri (Permen), namun akan diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) EBT.

"Di dalam Perpres (tarif EBT) kita upayakan harga keekonomian yang wajar, namun terjangkau dengan insentif. Kalau untuk panas bumi, kami berikan insentif dengan cara pemerintah ikut melakukan pemboran atau eksplorasi," tuturnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Demi Gaet Investor, Pemerintah Ikut Ngebor Geothermal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular