Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat aktivitas ekonomi dunia lesu, bahkan mati suri. Akibatnya, setoran pajak ke kas negara pun menyusut drastis.
Bahkan situasi ini terjadi di negara sekelas Amerika Serikat (AS), yang katanya adalah negara maju dengan status perekonomian terbesar di planet bumi. Pada Agustus 2020, penerimaan pajak di Negeri Paman Sam tercatat US$ 206,93 miliar. Turun 4,71% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Dalam delapan bulan pertama 2020, pemerintahan Presiden Donald Trump mengumpulkan penerimaan pajak US$ 2,16 triliun. Turun 4,51% YoY.
Padahal pada saat yang sama, pemerintah AS menggelontorkan stimulus triliunan dolar AS untuk mengatasi dampak pandemi virus corona. Saat penerimaan pajak mampet, satu-satunya jalan untuk mengongkosi stimulus fiskal demi kepentingan ratusan juta rakyat adalah dengan utang.
Utang pemerintah terus naik hingga menyentuh rekor tertinggi US$ 26,52 triliun per akhir Juli 2020. Pada kuartal II-2020, pemerintah AS menambah utang sebanyak US$ 3 triliun. Ini adalah rekor tertinggi penambahan utang secara kuartalan, hampir enam kali lipat dari rekor sebelumnya yang terjadi pada 2008. Defisit anggaran Negeri Adidaya tahun ini diperkirakan mencapai US$ 3,7 triliun (18,4% PDB), melonjak dibandingkan 2019 yang sebesar US$ 1 triliun.
Ini karena pemerintah menggelontorkan paket stimulus lebih dari US$ 2 triliun. Sejumlah pihak menilai stimulus sebesar itu pun belum cukup untuk mengatasi dampak pandemi virus corona.
Riset Bank of America menyebut AS membutuhkan setidaknya US$ 3 triliun stimulus fiskal dan bahkan lebih jika ternyata resesi lebih dalam dari perkiraan. "Stimulus fiskal dan lonjakan defisit anggaran adalah sebuah kebutuhan untuk memerangi dampak kemerosotan ekonomi. Jangan sampai kita mengalami depresi kedua," tegas Steven Oh, Global Head of Credit and Fixed Income PineBridge, seperti dikutip dari CNN.
Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) juga menegaskan bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk mencemaskan utang. Sebab, yang paling penting adalah menyelamatkan rakyat dan perekonomian.
"Kekuatan fiskal sangat penting. Idealnya, Anda harus menghadapi tekanan seperti ini dengan postur fiskal yang kuat. Ini bukan saatnya untuk khawatir, karena yang terpenting adalah kita harus menang perang," kata Jerome 'Jay' Powell, Ketua The Fed, sebagaimana dikutip dari Reuters.
HALAMAN SELANJUTNYA >> Utang Indonesia Bengkak....
Hampir seluruh negara menghadapi situasi serupa. Kebutuhan stimulus fiskal membuat defisit anggaran dan utang membengkak.
Dalam catatan McKinsey, Jerman menjadi negara dengan porsi stimulus fiskal terbesar yaitu mencapai 33% PDB. Disusul oleh Jepang (21%), Prancis (14,6%), dan Inggris (14,5%). Stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintahan di berbagai negara sudah jauh melebihi krisis 2008.
 McKinsey |
Bagaimana dengan Indonesia? Sama saja. Kelesuan aktivitas ekonomi membuat setoran pajak ke kas negara turun.
Pada Januari-Juli 2020, penerimaan pajak tercatat Rp 601,91 triliun. Anjlok 14,67% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
 Kementerian Keuangan |
"Kita lihat pergerakan nilai tambah dengan adanya Covid-19 mengalami pelemahan. Secara umum untuk penerimaan pajak terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif) 14%," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.
Padahal pajak adalah tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk 2020, target penerimaan negara adalah Rp 1.699,9 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 1.404,5 triliun (82,62%) datang dari perpajakan.
Saat penerimaan seret, kebutuhan belanja naik karena penanganan dampak pagebluk virus corona, baik di aspek kesehatan maupun sosial-ekonomi. Total belanja negara tahun ini direncanakan Rp 2.739,2 triliun, naik 11,29% dibandingkan 2019.
Lonjakan belanja terjadi saat penerimaan negara lesu karena perlambatan aktivitas ekonomi. Target penerimaan 2020 mengalami penurunan 21,49%.
So, dari mana datangnya duit untuk membayari belanja yang membengkak lebih dari 11% tadi? Mau tidak mau, suka tidak suka, ya dari utang...
"Posisi utang pemerintah per akhir Juni 2020 berada di angka Rp 5.264,07 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 32,67%. Secara nominal, posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19," sebut dokumen APBN Kita edisi Juli 2020.
Sampai dengan pertengahan 2020, pemerintah telah menerbitkan berbagai jenis obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) Rp 630,5 triliun. Sedangkan dari sisi pinjaman, Pemerintah telah melakukan penarikan Pinjaman Program senilai US$ 1,84 miliar dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Agence Française de Développement (AFD), Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Pengorbanan demi mengatasi pandemi virus corona begitu besar. Sejak era reformasi, Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan disiplin fiskal yang mumpuni. Dalam UU Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% PDB untuk menjaga kesinambungan fiskal.
Namun pandemi virus corona membuat pemerintah mau tidak mau harus melupakan sejenak aturan itu. Dalam UU No 2/2020, pemerintah menetapkan defisit anggaran boleh melebihi 3% PDB sampai 2023.
Perpres No 72/2020 menyebut defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% PDB. Tahun depan, defisit anggaran direncanakan sebesar 5,7% PDB.
Sebenarnya bisa saja pemerintah tidak menumpuk utang. Namun hasilnya tidak ada Bantuan Langsung Tunai (BLT), diskon tarif listrik, bantuan kredit untuk usaha mikro, dan berbagai program lain untuk menopang perekonomian yang diterjang pandemi virus corona. Silakan masyarakat bertahan hidup masing-masing tanda bantuan pemerintah.
Mau..?
TIM RISET CNBC INDONESIA