Indonesia Rezim Pengutang & Bakal Bangkrut, Benar Ferguso??

Lidya Julita S & Cantika Adinda, CNBC Indonesia
16 September 2020 10:54
Dollar
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas dolar AS di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta

Pernah tanya buat apa saja utang sebanyak itu?

Kenapa utang makin menggunung tapi ekonomi malah kian limbung?

Pernah tanya soal ini?



Negara bakal bangkrut..


Dasar Rezim Pengutang...

Jakarta, CNBC Indonesia - Kira-kira narasi seperti itu yang muncul di sosial media. Banyak yang bertanya apakah Indonesia bisa membayar seluruh utang yang disebut Maha Dahsyat akibat Covid-19 ini?

Berdasarkan data APBN Kita Agustus 2020, utang pemerintah pada posisi akhir Juli 2020 mencapai Rp 5.434,86 triliun atau mengalami peningkatan Rp 831,24 triliun (18%) hanya dalam 1 tahun.

Utang tersebut 84,57% adalah penerbitan surat berharga negara atau disingkat SBN sebesar Rp 4.596,26 triliun. Sementara ada pinjaman yakni dalam dan luar negeri Rp 838,6 triliun atau sekitar 15,43% dari total utang.

Terjadi kenaikan Debt to GDP Ratio atau rasio utang terhadap PDB dari 29,51% di Juli 2019 menjadi 33,63% di Juli 2020.

Kenaikan Signifikan Utang Akibat Covid-19 Biadab

Posisi utang Pemerintah per akhir Juli 2020 berada di angka Rp5.434,86 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 33,63%. Secara nominal, posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19," demikian narasi pemerintah di APBN Kita Agustus 2020 seperti ditulis CNBC Indonesia, Rabu (16/9/2020).

Untuk informasi, Presiden Joko Widodo meneken revisi Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang perubahan APBN 2020. Di dalam Perpres 72 Tahun 2020, Defisit Anggaran di APBN 2020 ditetapkan membengkak menjadi Rp 1.039 triliun atau 6,37% terhadap PDB.

Fitch Ratings, lembaga pemeringkat international pada 10 Agustus 2020 baru saja mempertahankan peringkat kredit Indonesia di level BBB dengan outlook stabil. Fitch mencatat bahwa rasio utang Indonesia yang meningkat masih terbilang lebih kecil daripada median rasio utang terhadap PDB negara-negara dengan peringkat utang BBB lainnya yang mencapai 51,7%.

Dalam laporannya, Fitch juga menyatakan bahwa kebijakan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 sudah berada pada jalur yang tepat. "Hal ini turut menjadi bukti bahwa dunia memandang Indonesia mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah di tengah pandemi Covid-19, serta tekanan dan ketidakpastian secara global," tambah laporan di APBN Kita.

Amankah Utang Indonesia?

Tolak ukur yang masih menjadi patokan dunia dalam memandang utang adalah Debt to GDP Ratio atau Rasio Utang terhadap PDB tadi.

Mari melihat data. Jepang, bukan satu-satunya ekonomi dunia yang utang pemerintahnya melebihi atau menyamai PDB sebelum wabah. Pada akhir 2019 rasio utang terhadap PDB Jepang mencapai 237%. Sementara Italia 135% dari PDB.

AS mencapai 107% terhadap PDB. Lebih luasnya lagi, berikut data utang terhadap PDB negara G-20 (Desember 2019):

Jepang 237%
Italia 135%
Singapura 126%
AS 107%
Prancis 98,1%
Spanyol 95,5%
Kanada 89,7%
Argentina 89,4$
Negara Kawasan Eropa 84,1%
Inggris 80,7%
Brazil 75,79%
India 69,62%
Afrika Selatan 62,2%
Jerman 59,8%
China 50,5%
Belanda 48,6%
Meksiko 45,5%
Australia 45,1%
Swiss 41%
Korea Selatan 36,6%
Turki 33,1%
Saudi Arabia 22,8%
Russia 12,2%

Para ahli memiliki pendapat berbeda tentang berapa banyak utang pemerintah dan tolak ukurnya. Termasuk dari rasio utang terhadap PDB saja tidak menentukan tingkat risiko suatu negara.

Jepang dan AS, misalnya, memiliki rasio utang pemerintah terhadap PDB tertinggi di dunia, tetapi lembaga pemeringkat kredit memberi nilai tinggi pada kedua negara secara umum. Penilaian ini mencerminkan faktor-faktor selain hanya utang pemerintah, termasuk kapasitas dan kemauan negara untuk membayar kembali kewajibannya.

Jika melihat Indonesia, pembayaran bunga utang tidak pernah luput. Realisasi Pembayaran Bunga Utang sampai dengan Juli 2020 sebesar Rp 182,8 triliun, naik 15,2 persen (yoy), sejalan dengan tambahan penerbitan utang yang dilakukan untuk menutup peningkatan defisit APBN 2020 dan peningkatan pengeluaran pembiayaan.

"Pengelolaan utang Pemerintah dilakukan dengan pruden dan akuntabel, dengan tetap mengutamakan sumber pembiayaan dalam negeri dengan tingkat bunga tetap untuk menjaga risiko utang yang terkendali. Selain itu, dukungan BI melalui skema burden sharing turut membantu kesinambungan fiskal Pemerintah dalam jangka panjang, sehingga risiko fiskal terkait pemenuhan pembiayaan Covid-19 tetap terjaga dalam batas aman," tulis keterangan Pemerintah.

"Pemerintah berkomitmen untuk melakukan pengelolaan utang dengan prudent dan akuntabel demi mendukung APBN yang kredibel, utamanya di tengah kejadian extraordinary Covid-19 yang memerlukan extraordinary effort pula. Selain itu, Pemerintah juga selalu mengutamakan fleksibiltas dan efisiensi dalam pembiayaan agar dapat menjaga komposisi portofolio utang secara optimal untuk memastikan keseimbangan makro yang sustainable."

HALAMAN SELANJUTNYA >> Burden Sharing dan Kebangkrutan (NEXT)

Skema Burden Sharing

Pada tanggal 20 Juli 2020 Pemerintah kembali melakukan sinergi dengan Bank Indonesia untuk memperkuat dan mempercepat program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Kedua tentang skema pembagian beban biaya (burden sharing).

Sebagai implementasi SKB II, Pemerintah telah menerbitkan empat seri SUN secara Private Placement kepada BI dengan total sebesar Rp82,1triliun pada tanggal 6 Agustus 2020, yang digunakan untuk belanja kelompok Public Goods. Selanjutnya, Pemerintah juga telah melakukan lelang SUN pertama yang digunakan untuk pemenuhan pembiayaan Non-Public Goods, khususnya untuk belanja dan pembiayaan UMKM dengan total nominal yang dimenangkan sebanyak Rp22 triliun.

Hingga saat ini presentase kepemilikan Bank Sentral terhadap Surat Utang Negara adalah 16,4% dari total outstanding sementara presentase kepemilikan asing hingga Juni 2020 menjadi 30,2% dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 36,6 % dari total outstanding.

Bukan Cuma Indonesia

Burden Sharing ini kebijakan temporer (one-off policy) yaitu hanya berlaku untuk tahun 2020 saja namun koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia akan tetap berlanjut di tahun depan dalam bentuk Bank Indonesia sebagai standby buyer dari Surat Utang yang diterbitkan Pemerintah.Selain itu, penerapan skema pembelian obligasi pemerintah oleh bank sentral tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Skema ini juga dilakukan oleh beberapa negara lain, seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Thailand yang terbukti dapat tetap menjaga tingkat inflasi dan nilai tukarnya.

Selain itu, berdasarkan laporan Bank of International Settlement (BIS) yang dipublikasikan tanggal 2 Juni 2020 disebutkan bahwa bank sentral di beberapa negara berkembang juga berperan sebagai last resort, seperti Mexico, Hungaria, Filipina dan Turki.

Apakah Indonesia Bakal Bangkrut?

Pertanyaan mendasar, utang yang terus menggunung apakah Indonesia bisa bangkrut?

Kebangkrutan ditandai dengan tidak bisa membayar kembalinya utang yang jatuh tempo. Pada 2015, tercatat ada 7 negara yang mengalami kegagalan pembayaran utangnya.

Puerto Rico, Belarusia, Argentina, Jamaica, Belize, Venezuela, Yunani, dan Ukraina.

Negara-negara tersebut sudah divonis negatif outlooknya lebih dulu oleh lembaga pemeringkat internasional dari Moody's sampai Fitch.

M Ayhan Kose, Direktur Bank Dunia bersama dengan beberapa rekannya menilai negara-negara yang saat ini sangat membutuhkan pembiayaan perlu melakukan pengelolaan utang yang baik.

"Serta transparansi utang sangat penting untuk memastikan bahwa utang hari ini dapat dilunasi besok dan bahwa biaya pinjaman tetap terkendali, keberlanjutan utang pada akhirnya dipulihkan, dan risiko fiskal dapat ditahan," tulisnya dalam sebuah blog di IMF.

"Jika bank sentral berkontribusi pada pembiayaan fiskal, kerangka kerja yang memastikan kembali ke kebijakan moneter sebelum pandemi dapat mendorong kepercayaan investor. Kreditor, termasuk lembaga keuangan internasional, dapat menjadi ujung tombak upaya di bidang ini dengan mempromosikan standar bersama," tambahnya.

Dok: BIFoto: Rating Indonesia


Tidak ada yang ditutupi jika melihat komposisi utang pemerintah dan bank sentral yang selalu di-update tiap bulannya. So far, lembaga rating pun tidak melihat hal negatif dari Indonesia.

"Track record dan komunikasi detail itu penting dalam postur APBN. Kalau ada bilang APBN tidak transparan saya menolak keras. APBN kita selalu transparan dan semua bisa tahu di publik," kata Sri Mulyani, Kamis (30/4/2020).

Menurut Sri Mulyani setiap anggaran yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bahkan ia menyebutnya tidak ada satu rupiah pun yang menganggur.

"Kita akan lakukan pengetatan dan tidak ada se-rupiah pun menganggur dan maksimalkan juga pembiayaan," katanya.


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular