Soal APBN, Awas Blunder Pak Jokowi!

Lidya Julita Sembiring & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
19 October 2021 07:21
INFOGRAFIS, Curhat Jokowi, Tambang RI Dinikmati Spanyol-Jepang
Foto: Infografis/Smelter Freeport/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah diharapkan tidak terlalu buru-buru mengencangkan ikat pinggang, sementara pandemi covid-19 belum usai. Kini kasus covid memang landai, namun tidak ada jaminan kondisi yang sama bertahan hingga tahun depan.

"Saya ingin mengingatkan kita memang punya target (defisit) 3% tapi saya kira kita juga mesti fleksibel, jangan sampai gara-gara ngejar 3% itu fiskalnya di-tighten to early," ujar Ekonom Senior Chatib Basri dalam webinar Bincang APBN 2022, Senin (18/10/2021).

Defisit diperbolehkan melewati batas 3% sampai 2023 tertera dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2020. Tujuannya kala itu agar pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih lebar untuk penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional.

Sepertinya pemerintah tidak sabar. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah mengurangi anggaran perlindungan sosial menjadi Rp 252,3 triliun. Sederet insentif pajak juga dikurangi dengan cara pemberian yang lebih selektif.

Di saat yang bersamaan, ada UU HPP dengan kebijakan di antaranya adalah kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% dan pengenaan pajak karbon serta cukai untuk beberapa kelompok barang tertentu. Sehingga bisa menambah penerimaan dan memperkecil defisit.

Hanya saja, kebijakan tersebut tentu akan memberatkan masyarakat yang saat ini baru beranjak pulih. Belum lagi kalau seandainya lonjakan kasus covid kembali terulang. Risiko yang masih terbuka lebar seiring dengan kekebalan komunal dari vaksinasi belum kunjung tercapai.

Pemerintah, kata Chatib harus belajar dari kejadian 1998. Saat Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan pemerintah Indonesia agar mulai memperketat fiskal sementara krisis masih melanda segenap masyarakat. Dampaknya, pemulihan pasca krisis menjadi lebih lama dan membutuhkan uang lebih banyak.

Sama dengan yang terjadi kini, di mana pemerintah harus berhadapan dengan target batas defisit harus kembali ke bawah 3% dari PDB pada 2023. Bila batas tersebut kembali dilonggarkan selama 2-3 tahun ke depan, maka Chatib menilai semua pihak dapat memaklumi.

Chatib mengamati perkembangan banyak negara. Dia tidak menemukan negara yang mengurangi stimulus secara signifikan ataupun menarik pajak lebih tinggi kepada rakyatnya.

"Jadi intinya adalah kalau memang itu masih bisa dibutuhkan dilakukan saja, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukan di tahun 98 ketika IMF menganjurkan kita untuk tightening fiskal pada saat masih resesi," tegasnya.

BERSAMBUNG KE HALAMAN SELANJUTNYA >> Postur APBN 2022

Diketahui, belanja negara dalam APBN 2022 mencapai Rp 2.714,2 triliun, terdiri dari Rp 1.944,5 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp 769,6 triliun.

Kemudian pendapatan negara tahun depan diperkirakan mencapai Rp 1.846,1 triliun. Terdiri dari perpajakan Rp 1.510 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 335,6 triliun dan hibah sebesar Rp 600 miliar.

Adapun anggaran pendidikan di tahun depan dialokasikan sebesar Rp 542,8 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp 429,9 triliun, infrastruktur Rp 367,8 triliun, ketahanan pangan Rp 78,7 triliun, pariwisata Rp 9,2 triliun, dan bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebesar Rp 27,1 triliun.

"Dengan perkiraan pendapatan negara dan alokasi belanja negara tersebut, maka defisit 2022 sebesar Rp 868 triliun atau 4,85% terhadap PDB. Tentunya dengan dampak HPP tadi, defisit akan bisa lebih rendah dibandingkan asumsi 4,85% tersebut," jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.

Namun anggaran besar ini ternyata berbeda dengan yang tertulis di APBN 2022. Di mana anggaran untuk perlindungan sosial hanya mencapai Rp 252,3 triliun, sehingga dipertanyakan oleh Ekonom Senior Faisal Basri.

"Kepala BKF mengatakan anggaran fungsi perlindungan sosial di atas Rp 400 triliun. Rasanya kebanyakan deh. Kalau saya lihat di APBN cuma Rp 252 triliun. Tolong dijelaskan," ujar Faisal.

Didapati besarnya perlinsos tersebut karena ada unsur subsidi energi di dalamnya. Menurut Faisal langkah tersebut tidak tepat karena berbeda secara fungsi.

"Kalau dimasukkan subsidi BBM, nanti kacau. Bukan perlindungan sosial lagi namanya," jelasnya Faisal.


HALAMAN SELANJUTNYA >> Rakyat Butuh Bansos Lebih Besar, Bukan Rp 300 Ribu!

Pemerintah perlu memperluas penerima bantuan dari 40% menjadi 60% masyarakat terbawah Indonesia atau sebanyak 160 juta orang.

"Karena itu perlindungan sosial harus tetap diberikan bahkan saya sebetulnya mengusulkan untuk diperluas kepada 60% dari penduduk Indonesia," kata Chatib.

Menurutnya, tak hanya perluas jumlah penerimanya tapi juga besaran nominal bantuan yang diberikan. Terutama untuk 40 juta masyarakat yang terdaftar sebagai rumah tangga.

Sebab, nominal yang diberikan saat ini tidak bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dalam sebulan. Sehingga mereka harus terus bekerja meski pandemi belum berakhir.

"Mereka yang miskin itu tidak mungkin tinggal di rumah, di Indonesia itu hanya orang kaya yang bisa nganggur, orang miskin dia harus kerja, ya harus keluar rumah. Makanya bansosnya jangan dikasih Rp 300 ribu - Rp 700 ribu. Tapi dikasih Rp 1 juta - Rp 1,5 juta," kata dia.

Lanjutnya, untuk memberikan bantuan sebesar itu APBN sangat mampu. Bahkan dalam enam bulan anggaran yang dibutuhkan hanya hingga Rp 240 triliun. Jika ini terlaksana maka pemulihan ekonomi jauh akan lebih cepat.

"Dalam 1 bulan Rp 40 triliun, kita kasih sekitar 3 bulan atau 6 bulan tuh sekitar Rp 120 triliun sampai Rp 240 triliun dan menurut saya alokasi ada," tegasnya.

Sementara untuk fokus sektor kesehatan, ia berharap pemerintah mempercepat vaksin dan akses vaksin gratis bisa merata di seluruh Indonesia baik di pusat kota bahkan di pedesaan.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk kembali menurunkan harga tes swab PCR. Sebab harga saat ini masih lebih tinggi dibandingkan negara lain sehingga banyak masyarakat yang enggan melakukan tes karena terpentok biaya.

"Perbandingan dengan negara lain PCR itu walaupun sekarang Rp 400 ribuan masih mahal. Ya mungkin yang harus dilakukan adalah penghematan sehingga price itu jauh lebih rendah. Kemudian di daerah-daerah akses PCR juga harus diperbaiki," jelasnya.


HALAMAN SELANJUTNYA >> Rakyat Butuh Bansos Lebih Besar, Bukan Rp 300 Ribu!

Ekonom Senior Faisal Basri dengan tegas meminta pemerintah menghentikan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru, food estate hingga kereta cepat. Sebab, semua proyek itu tidak begitu mendesak.

Menurutnya, lebih baik anggaran untuk proyek tak mendesak tersebut digunakan membantu masyarakat tidak mampu agar bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya dengan meningkatkan nilai bantuan sosial yang diberikan.

"Jadi ayo kita perluas (bantuan sosial), hentikan food estate, hentikan pembangunan IKN, hentikan kereta cepat, kita tidak mati karena itu," ujarnya.

Lanjutnya, saat ini yang perlu diberikan bantuan bukan hanya 40% kelompok terbawah, tetapi juga hingga 60% terbawah. Saat ini, kelompok 60% terbawah ini statusnya insecure atau hidupnya belum tenang.

Sehingga ia mempertanyakan kenapa pemerintah justru menghentikan pemberian bantuan ke masyarakat tersebut. Padahal seharusnya mereka yang dibantu untuk tetap bisa bertahan di tengah tekanan pandemi.

"Kereta cepat mau pakai silpa tahun lalu, gilak gak? Silpa tahun lalu dipakai untuk pembangunan kereta cepat, tapi untuk rakyat 9 juta sekian yang dapat JKN dihapus oleh bu Risma (Menteri Sosial). Jadi ayo kita bicara realistis dan konsisten," jelasnya.

Disinilah ia menilai fungsi Kementerian Keuangan harus masuk untuk bisa memutuskan mana yang penting dan diperlukan di kondisi seperti ini.

"Kemenkeu menurut saya fungsinya rem, bukan mengiyakan apa yang diinginkan para menteri dan Presiden itu. Tunjukan konsekuensinya seperti dulu pak Budiono dan bu Sri Mulyani itu berani mengatakan tidak pada pembangunan monorel kepada Wakil Presiden," tegasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular