Kabar Baik atau Buruk? RI Mungkin Resesi, Tapi Tak Akan Lama

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 September 2020 16:12
Antrian Sembako di Kelurahan Pondok Kelapa AP/Achmad Ibrahim
Foto: Antrian Sembako di Kelurahan Pondok Kelapa AP/Achmad Ibrahim

Jakarta, CNBC Indonesia - Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang disebabkan oleh virus corona jenis baru tidak hanya menjadi penyakit dalam sistem kesehatan, tetapi juga bagi perekonomian global. Sudah banyak negara baik maju maupun berkembang terseret ke jurang resesi karenanya. Indonesia pun ikut terancam.

Soal resesi, memang tidak ada definisi yang zakelijk. Namun konsensus para ekonom menyebutkan jika ekonomi mengalami kontraksi sepanjang dua kuartal berturut-turut maka sudah bisa dikatakan negara tersebut mengalami resesi.

Hanya saja jika mengacu pada data Produk Domestik Bruto (PDB), harus menunggu dua kuartal. Jadi fenomena resesi baru diketahui setelah terjadi. Hanya saja ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk memprediksi apakah suatu negara berpotensi resesi atau tidak yaitu data-data ekonomi yang sifatnya bulanan atau memiliki frekuensi rilis yang tinggi.

Mengacu pada data-data tersebut, apakah ekonomi Indonesia bakal mengalami resesi?

Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 269 juta penduduk dan populasi middle class yang terus tumbuh. Wajar saja jika ekonomi Tanah Air ditopang oleh konsumsi domestik.

Indikator konsumsi ini bisa dilihat dari berbagai indikator yang merujuk pada daya beli masyarakat. Pertama adalah inflasi. Memasuki bulan Juli, BPS mencatat RI mengalami deflasi 0,1% (month on month/mom).

Deflasi pun berlanjut ke bulan Agustus. Tingkat inflasi bulan Juli tercatat -0,05% (mom). Bank Indonesia (BI) memperkirakan deflasi masih akan berlanjut di bulan September.

Dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu kedua September, BI memperkirakan akan terjadi deflasi sebesar 0,01% (mom). "Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi September 2020 secara tahun kalender sebesar 0,92% (ytd), dan secara tahunan sebesar 1,46% (yoy)." tulis BI.

Penyumbang utama deflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas telur ayam ras dan bawang merah masing-masing sebesar -0,03% (mom), daging ayam ras sebesar -0,02% (mom), jeruk, cabai merah, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01% (mom).

Pada periode 6 Agustus sampai 11 September, harga bawang merah di pasar tradisional RI telah turun 5,91%. Pada saat yang sama, harga telur ayam ras segar juga melemah 4,59%. Tak ketinggalan harga daging ayam ras segar juga melorot 4,67%.

Dalam lima tahun terakhir angka inflasi Indonesia tergolong 'jinak'. Bahkan cenderung berada di bawah sasaran inflasi BI yang ditetapkan di 3% plus minus 100 basis poin (bps) untuk tahun ini.

Indikator yang mencerminkan daya beli masyarakat yang tergerus juga tercermin dari angka inflasi inti yang terus melandai. Per Agustus 2020, angka inflasi inti Indonesia sudah berada di 2,03% (yoy) dan menjadi yang terendah sejak periode 2015-2020.

Pandemi Covid-19 yang merebak di Tanah Air direspons dengan kebijakan PSBB mulai April lalu. DKI Jakarta sebagai episentrum wabah menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB, tepatnya pada 10 April 2020.

Roda perekonomian yang tadinya dipecut untuk jalan bahkan berlari kini harus direm. Mobilitas orang serta barang menjadi terhambat. Ini adalah bentuk pukulan ganda bagi perekonomian baik dari sisi pasokan maupun permintaan.

Fenomena ini juga dirasakan tak hanya oleh Indonesia tetapi juga negara lain. Kapasitas produksi pabrik yang turun membuat permintaan terhadap tenaga kerja rendah. Karyawan sebagian ada yang dirumahkan bahkan sampai terkena PHK.

Pekerja di sektor informal pun turut terkena imbasnya. Lebih dari 3 juta pekerja terdampak pandemi. Pendapatan mereka tergerus. Berdasarkan survei sosial demografis BPS, pendapatan 4 dari 10 orang Indonesia berkurang saat pandemi.

Pendapatan yang berkurang menurunkan daya beli. Harga-harga pun mulai berguguran. Deflasi akhirnya terjadi. Namun jika deflasi ini terus berlanjut, maka bisa sangat membahayakan.

Deflasi adalah sebuah fenomena penurunan sekelompok harga suatu barang atau jasa. Ketika deflasi terjadi, maka valuasi mata uang meningkat. Orang akan cenderung memilih uang tunai sembari menunggu harga semakin turun.

Imbasnya akan dirasakan oleh pelaku usaha. Penurunan demand berarti penurunan penjualan (sales). Persaingan akan diwarnai dengan strategi banting harga yang membuat harga barang semakin jatuh.

Tanpa ada kenaikan demand yang berarti, tidak hanya likuiditas korporasi saja yang terkuras tetapi juga profitabilitasnya. Akhirnya korporasi maupun pelaku usaha akan mengurangi investasinya. Tanpa investasi permintaan tenaga kerja menjadi susut. Lingkaran setan (vicious cycle) ini harus dipatahkan.

Deflasi memang kejam. Lihat saja Negeri Sakura yang terjerat dalam downward spiral of deflation selama lebih dari satu dekade. Pertumbuhan ekonominya melambat. Sehingga deflasi dua bulan beruntun di dalam negeri menjadi suatu warning! Jika masih terus deflasi, RI bisa resesi.

Peluang Indonesia masuk resesi memang ada. Namun jika melihat dari sudut pandang inflasi saja tentu tidak cukup. Dalam laporan terbarunya pada 14 Agustus 2020, bank investasi global Morgan Stanley melakukan kajian terhadap perkembangan pandemi Covid-19 dan perekonomian di negara-negara Asia non-Jepang.

Secara epidemiologi, Indonesia dikelompokkan bersama dengan India dan juga Filipina. Landasan Morgan Stanley mengelompokkan Indonesia bersama dua negara ini tak lain dan tak bukan adalah kurva pertambahan kasus Covid-19 yang terus menanjak.

Meski kasus terus menanjak, tetapi Morgan Stanley melihat adanya pemulihan yang terjadi secara gradual di negara-negara tersebut terutama di Indonesia.

Dengan menggunakan beberapa indikator seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) hingga penjualan barang tahan lama seperti motor dan mobil Morgan Stanley menilai fenomena kontraksi output perekonomian AxJ bukan lah double dip melainkan gradual recovery. Resesi tidak akan bertahan lama, pemulihan akan segera terjadi meski bertahap.

Perbaikan IKK serta penjualan barang tahan lama di Indonesia bulan Juli menjadi sorotan bank investasi asal AS itu. BI mencatat, meski konsumen masih pesimis dalam memandang perekonomian, sentimen berangsur membaik. Hal ini tercermin dari kenaikan IKK tiga bulan beruntun sejak terbenam di zona bawah pada bulan Mei.

Pelonggaran PSBB yang diterapkan terutam di ibu kota yang sumbangsihnya terhadap kue ekonomi nasional sebesar 17,2% menjadi faktor pemicu membaiknya sentimen konsumen.

Penjualan sepeda motor dan mobil pun terbang sejak PSBB transisi di DKI Jakarta diterapkan di bulan Juni. Selain itu, perbaikan mobilitas di wilayah lain juga menjadi faktor yang turut berpengaruh.

Hanya saja, saat ekonomi mulai digeber dan stimulus mulai dicairkan untuk create demand. Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan memberikan kebijakan yang mengejutkan yaitu dengan menarik rem darurat.

PSBB ibu kota tak lagi berstatus transisi. PSBB diperketat. Namun nyatanya sampai dengan hari ini, PSBB a la Anies tak seseram seperti yang dibayangkan. Orang-orang masih diperbolehkan untuk mobile ke pasar hingga kantor dengan catatan ada pembatasan kapasitas dan law enforcement lain seperti denda untuk para pelanggar aturan.

Masalahnya, kuartal ketiga tinggal hitungan minggu. Kurang lebih dua pekan lagi, kita telah meninggalkan kuartal ketiga ini. Potensi kontraksi ekonomi lanjutan di triwulan ketiga ini masih ada. Sehingga jangan kaget kalau Indonesia berpotensi besar masuk menjadi anggota world recession club yang kini jumlahnya lebih dari 40 negara di dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular